Jumenengan Keraton Solo
FAKTA Menarik Busana Pakubuwono XIV Purboyo saat Jumenengan di Solo, Terpengaruh Budaya Tionghoa
Pengamat Sejarah, Ki Rendra Agusta mengungkapkan mulanya baju ini terpengaruh busana tionghoa. Namun kini justru menjadi baju kebesaran raja.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Vincentius Jyestha Candraditya
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Sinuhun Pakubuwono XIV Purboyo mengenakan Ageman Takwa saat menjalani upacara kenaikan tahta atau jumenengan pada Sabtu (15/11/2025) lalu.
Pengamat Sejarah, Ki Rendra Agusta mengungkapkan mulanya baju ini terpengaruh busana tionghoa.
Namun kini justru menjadi baju kebesaran raja.
“Kalau sebenarnya sekilas ada pencampuran antara Tionghoa Jawa. Baju Takwa itu kan sebenarnya karena untuk simbolik ketakwaan ya kedekatan raja dengan Tuhan karena istilah takwa jelas itu diambil karena keraton sudah bergeser ya agama negaranya agama Islam,” kata Ki Rendra, saat dihubungi TribunSolo.com, Kamis (20/11/2025).
Baju ini menjadi simbol ketakwaan dimana setiap unsurnya terdapat makna dari rukun iman, islam, dan pengendalian hawa nafsu.
“Di kerah ada 6 kancing itu rukun iman. Di kerah baju ada 5 kancing itu rukun islam. Di bagian tengah itu juga terkait dengan pengendalian 3 hawa nafsu,” jelasnya.
Baju ini menjadi baju kebesaran sejak era Amangkurat IV. Saat itu baju semacam ini disebut dengan rasukan.
“Kalau secara tekstual mungkin ya salinan salinan dari dari masa Kartasura Amangkurat IV mulai ada teks yang mencatat ada Rasukan namanya dulu. Rasukan kalau di naskah-naskah rasukan sampai zaman PB X juga naskah-naskah juga memakai istilah Rasukan gitu,” tuturnya.
Sinuhun Pakubuwono XIV Purboyo mengenakan Ageman Takwa dengan warna magenta.
Baca juga: Sinuhun Pakubuwono XIV Keraton Solo Naikkan Pangkat Kerabat, Ada Kaitan dengan Bebadan Baru?
Baju ini berbahan beludru dengan aksen emas sehingga tampak mewah.
“Baju takwa sebenarnya kalau yang khusus memang dipakai oleh raja dan permaisuri. Ya itu dipakai begitu dan warnanya memang sebenarnya warnanya juga tidak harus khas seperti itu ya. Tapi yang sangat khas biasanya kainnya adalah beludru kemudian kancingnya juga emas. Kemudian warnanya di naskah-naskah malah sering disebut itu warnanya biru,” jelasnya.
Kain beludru pada jaman dulu memiliki prestise sangat tinggi sebab kain ini tidak diproduksi di dalam negeri. Berbeda dengan lurik atau mori yang diproduksi di dalam negeri.
“Dalam sejarah perkembangan tekstil di Jawa, kalau kita merunut pada masa itu ya masa pendirian kerajaan Mataram islam misalkan di zaman Panembahan Senopati terus mencapai puncaknya di zaman Sultan Agung. Nah di masa itu beludru itu kan jadi kain paling mahal selain sutra ya. Karena dia impor dari Eropa sedangkan yang diproduksi di Jawa sendiri kan semacam lurik, kain mori yang dipakai oleh abdi dalem,” terangnya.
Baca juga: PROFIL 3 Kerabat Keraton Solo yang Diberi Gelar Panembahan oleh PB XIV, dari Dalang hingga Akademisi
Mulanya kain beludru sering dipakai pejabat VOC. Akhirnya kain ini menjadi simbol kewibawaan raja era mataram islam.
“Dulu memang di masa kolonial sampai Kartosuro itu adalah kain yang sangat mewah yang hanya dimiliki oleh Pejabat VOC dan itu dianggap memiliki strata tinggi. Raja menggunakan itu untuk menunjukkan kewibawaannya,” jelasnya.
(*)
| Empat Hari Setelah Naik Tahta, Pakubuwono XIV Keraton Solo Umumkan Bebadan Baru, Ini Daftarnya |
|
|---|
| PROFIL 3 Kerabat Keraton Solo yang Diberi Gelar Panembahan oleh PB XIV, dari Dalang hingga Akademisi |
|
|---|
| SEJARAH Panjang Gelar Panembahan di Keraton Solo, Pernah Melekat ke Maestro Batik Go Tik Swan |
|
|---|
| MAKNA Gelar Panembahan yang Diberikan PB XIV ke 3 Kerabat Keraton Solo, Mirip Dewan Pertimbangan? |
|
|---|
| 3 Kerabat Keraton Solo Dapat Gelar Panembahan, Konon Gelar Tertinggi dalam Kerajaan Mataram Islam |
|
|---|
