Jumenengan Keraton Solo

SEJARAH Panjang Gelar Panembahan di Keraton Solo, Pernah Melekat ke Maestro Batik Go Tik Swan

Gelar Panembahan ternyata bukan gelar baru di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo. 

Istimewa
PENERIMA GELAR PANEMBAHAN - K.R.T. Hardjonagoro atau bisa juga dipanggil Go Tik Swan, seorang budayawan dan sastrawan Indonesia yang menetap di Surakarta. Go Tik Swan yang juga dikenal sebagai maestro batik pernah menerima Gelar Panembahan. 

Ringkasan Berita:
  • Gelar Panembahan memiliki sejarah panjang di Keraton Solo dan pernah disandang tokoh besar seperti Panembahan Hadi Wijaya serta Panembahan Hardjonagoro (Go Tik Swan).
  • PB XIV Purboyo kembali menganugerahkan gelar tertinggi ini kepada 3 kerabat: KGPA Dipokusumo, KGPA Benowo, dan GKR Timoer Rumbai, serta 2 tokoh lain yang naik pangkat adat.
  • Menurut Ki Rendra, panembahan berarti sosok dituakan, berakar dari kata sembah, dan berperan layaknya dewan pertimbangan dengan otoritas keilmuan dan spiritual.

 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Gelar Panembahan ternyata bukan gelar baru di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo

Dalam sejarahnya, posisi terhormat ini pernah disandang oleh tokoh besar seperti Panembahan Hadi Wijaya hingga Panembahan Hardjonagoro—nama yang melekat pada maestro batik Solo, Go Tik Swan. 

“Kalau di Surakarta misalkan di rentang PB X sampai dengan PB XII itu ada Panembahan Hadi Wijaya itu kan juga cendekiawan juga salah satu perintis universitas Saraswati ya yang kemudian nanti jadi UNS di Solo. Terus di PB XII itu Pak Go Tik Swan pengusaha batik di Solo itu,” kata pengamat sejarah, Ki Rendra Agusta, kepada TribunSolo.com, Senin (17/11/2025).

Tradisi panjang itu kembali berlanjut di era Pakubuwono XIV Purboyo.

Setidaknya tiga kerabat dalem kembali dianugerahi gelar panembahan setelah upacara kenaikan tahta pada Sabtu (15/11/2025).

Baca juga: MAKNA Gelar Panembahan yang Diberikan PB XIV ke 3 Kerabat Keraton Solo, Mirip Dewan Pertimbangan?

Ki Rendra Agusta menyebut gelar ini berada di tingkat paling tinggi dalam hierarki kepangkatan Mataram Islam.

“Di kepangkatan ya paling tinggi sekaligus sebenarnya sudah paling sepuh ya dituakan begitu. Jadi dia semacam punya semacam advisor untuk bidang spiritualitas lebih menep, lebih sabar, lebih segalanya,” ungkapnya.

Tiga tokoh yang menerima gelar tersebut ialah KGPA Panembahan Dipokusumo, KGPA Panembahan Benowo, dan GKR Panembahan Timoer Rumbai Kusuma Dewayani.

Selain itu, GKR Devi Lelyana Dewi dan GKR Dewi Ratih Widyasari juga memperoleh kenaikan pangkat adat.

Ki Rendra menjelaskan bahwa istilah panembahan berakar dari kata “sembah”, yang merujuk pada figur dihormati dan dituakan karena kedalaman pengetahuan.

“Kalau kata panembahan sendiri kan secara etimologi dari kata sembah. Terus kegiatannya nanti kan ada sembah. Nah jadi panembahan itu sebenarnya kan subjek atau orang yang disembah gitu ya dijadikan sesembahan gitu ya. Dalam konteks ini tentunya dituakan,” jelasnya.

Baca juga: Pengakuan Benowo soal Drama Keraton Solo : Hangabehi Tiba-tiba Nobatkan Diri, Banyak Saudara Kaget

Dalam struktur organisasi keraton, peran panembahan mirip dengan dewan pertimbangan yang memberi masukan bagi pimpinan.

“Kalau sekarang makna penambahan itu kan di keraton itu orang yang dituakan sebagai semacam kalau di negara itu dewan pertimbangan presiden jadi ada dewan pertimbangan,” tambahnya.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved