Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Sejarah Kota Solo

Profil dan Kisah Dr Moewardi, 'Dokter Gembel' dari Pati yang Namanya Abadi Jadi RSUD di Kota Solo

Warga Solo pun belum tentu tahu siapa sosok pria yang namanya abadi jadi nama rumah sakit terbesar di Kota Solo ini.

Penulis: Muhammad Irfan Al Amin | Editor: Aji Bramastra
dokumentasi keluarga Dr Moewardi untuk TribunSolo.com
Dr Moewardi, sosok yang jarang diketahui orang, meski namanya abadi jadi nama RS terbesar di Kota Solo. 

Di antara kisah kepanduan yang dialami oleh Moewardi ada hal pelik yang harus dialaminya yaitu ketika saat akan diangkat sebagai Troep Leider, Moewardi memilih untuk menolak dan keluar.

Saat itu Moewardi masih menjadi anggota aktif dari Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) dan mencapai jenjang Assistant Troep Leider, wakil pimpinan pasukan yang sangat jarang dicapai oleh anak anak bumiputera.

Meskipun di organisasi kepanduan Belanda dia gagal, namun karir kepanduannya di nasional atau pemuda Hindia Belanda terus berlanjut hingga mencapai tingka Jong Java Padvinderij yang kemudian berubah menjadi Pandu Kebangsaan (PK) dan berubah kembali menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Tidak hanya sekedar duduk menjadi anggota, pada ketiga organisasi tersebut Moewardi selalu dipercaya sebagai Komisaris Besar ataupun pemimpin tertinggi.

Menurut Wakil Ketua Kwartir Nasional Bidang Kehumasan dan Informatika, Berthold D H Sinaulan, bahwa jabatan yang diemban Moewardi sudah setara dengan ketua kwartir nasional apabila dibandingkan pada saat ini.

Maka tidak heran kiprahnya sebagai anggota pandu membuatnya diajukan untuk menjadi Bapak Pandu Indonesia, mendampingi Sri Sultan Hamangkubuwono IX yang menjadi Bapak Pramuka Indonesia.

Dokter “Gembel” Yang Membantu Proklamasi

Moewardi, si anak mantri guru dari Jakenan, berhasil menamatkan pendidikannya di STOVIA, sekolah kedoteran yang kini menjadi Universitas Indonesia.

Walaupun terlahir sebagai anak ningrat, disiplin, kedermawanan serta kesederhanaan tetap melekat pada sosok Moewardi.

Hal ini terlihat ketika tanggal 2 Desember 1934, setahun pasca lulus dari STOVIA, dirinya menggelar tasyakuran "kenduri modern".

Tidak hanya sekedar berbagi makanan namun juga berbagi jasa dengan membuka praktek pengobatan gratis dari pukul 06.00 hingga 24.00.

Dilansir website Universitas Indonesia (ui.ac.id), pendidikan kedokteran Moerwadi tidak hanya berhenti pada STOVIA saja, namun terus berlanjut hingga melanjutkan sekolah ke Geneeskuundige Hogeschool (GH) untuk mendapat gelar dokter atau Indische Arts.

Di GH tersebut, pada tahun 1939, Moewardi mengambil gelar dokter spesialis THK (Telinga, Hidung, Kerongkongan).

Kedermawanannya sebagai dokter terbukti dengan julukan yang melekat pada dirinya yaitu 'dokter gembel'.

Ternyata julukan itu bukan karena rupa Moewardi yang bak gembel, tapi karena kedekatannya dengan masyarakat akar rumput yang masih minim akses terhadap kesehatan.

Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved