Sejarah Kota Solo
Profil dan Kisah Dr Moewardi, 'Dokter Gembel' dari Pati yang Namanya Abadi Jadi RSUD di Kota Solo
Warga Solo pun belum tentu tahu siapa sosok pria yang namanya abadi jadi nama rumah sakit terbesar di Kota Solo ini.
Penulis: Muhammad Irfan Al Amin | Editor: Aji Bramastra
Selain itu, dia tidak mau menetapkan tarif, tak juga sepeser pun.
Kiprah Moewardi tidak berhenti di kedokteran dan kepanduan saja, ia juga aktif dalam usaha melawan penjajahan di Indonesia.
Ketika Jepang datang menggantikan Belanda untuk menjajah Indonesia, Ia menjadi Syuurengotaico.
Ini adalah jabatan yang bertugas memimpin Barisan Pelopor Kota Istimewa Jakarta atau Jakarta Tokubetsu Shi.
Barisan Pelopor sebenarnya bentukan Jepang, namun oleh para pemuda digunakan sebagai gerakan memerdekakan Indonesia.
Selama di Barisan Pelopor, Moewardi sempat menjadi buronan tentara Jepang karena perlawanan yang dilakukan.
Bersama para pemuda lainnya, Moewardi pun tak ingin ketinggalam untuk berjuang dalam meraih kemerdekaan, bahkan dirinya rela melepas profesi dokter untuk fokus ke dalam perjuangan.
Bersamanya ada Chudanco Latif Hendraningrat, salah seorang pemimpin PETA, yang ikut mengawal proses proklamasi dari penulisan naskah hingga menuju pembacaan.
Dibentak oleh Bung Karno
Dalam satu kesempatan, Moewardi sempat berdebat dengan Ir Soekarno.
Dilansir Majalah Veteran, sempat terjadi perdebatan antara Moewardi dengan Sukarno dalam proses pembacaan teks proklamasi.
Moewardi meminta agar Sukarno segera membacakan teks Proklamasi, meski Hatta belum datang.
Ia mengatakan, tanda tangan Hatta di teks itu sebenarnya sudah cukup mewakili.
Tapi Soekarno ngotot menunggu M Hatta.
Bahkan dengan nada keras Si Bung sempat membentak ke Moewardi : "Kalau Mas Moewardi tidak mau menunggu silakan baca teks sendiri!,"
Setelah teks proklamasi dibacakan, Moewardi jadi pria terpilih untuk memberi sambutan.
Akhir Kisah Sang “Dokter Gembel”, Menghilang Ketika Operasi
Karena kesibukan di dalam awal mendirikan Republik Indonesia, Moewardi sempat melepas status sementara sebagai dokter.
Akhirnya, setelah pemindahan ibukota dari Jogjakarta ke Jakarta, peran Moewardi di pemerintahan berkurang, hingga ia pilih menetap di Solo.
Di Solo, Moewardi kembali menjalankan profesi kedokterannya yang sempat ditanggalkan.
Praktik dengan segalam macam pasien juga dia layani hingga tiba pada 13 September 1948.
Ketika itu Mayor Hendroprijoko mencegah Moewardi untuk berpraktek mengingat kondisi negara sedang gawat.
Diceritakan dalam buku 'PKI Bergerak', karya Harry A. Poeze, Moewardi yang masih menjabat sebagai pimpinan Barisan Banteng mengabarkan sebuah dokumen kepada Sukarno dan Hatta.
Isinya, mengenai kemungkinan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Pesindo yang berhaluan komunis.
Alih-alih nurut perintah Mayor Hendroprijoko, Moewardi tetap kukuh menjalankan operasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Ia berkata : "Saya pemimpin dan saya juga dokter yang terikat dengan sumpah dokter. Percayalah saya tidak akan dibunuh oleh bangsa sendiri, yang mau membunuh saya hanyalah Belanda. Pasien saya harus segera dioperasi,"
Maka setelah menyampaikan pesan di hadapan anak buahnya, Moewardi tetap berangkat dengan menggunakan andong ke rumah sakit.
Tak lama kemudian, pada pukul 11.00, terdengar keriuhan dari letusan senjata api.
Moewardi diculik dan kantor polisi di dekat rumah sakit habis diserbu.
Harry A Poezoe menggambarkan proses penculikan itu sebagai hal yang unik.
Penyebabnya, para penculik sempat membiarkan Moewardi untuk menyelesaikan proses operasi yang dilakukan terhadap pasiennya, sebelum dibawa hilang entah kemana.
Setelah itu terdengar kabar bahwa seluruh korban penculikan termasuk diantarnya Moewardi habis dibunuh.
Pencarian pun dilaksanakan dengan berbagai upaya.
Gubernur Militer Solo-Madiun yang dijabat Kolonel Gatot Subroto juga ikut memberikan perhatian serius.
Tapi, hingga kini, keberadaan Moewardi masih misterius.
Bila meninggal pun, tak ada yang tahu di mana dia dimakamkan.
Moewardi hilang meninggalkan tujuh orang anak.
Dua anak dari Suprapti, istri pertama, yaitu Sri Sejati dan Adi.
Kemudian lima anak lain dari istri keduanya, Susilowati, yaitu Ataswarin Kamarijah, Kusumarita, Cipto Juwono, Banteng Witjaksono dan Happy Anandarin Wahyuningsih.
Salah seorang anak Moewardi, Banteng Witjaksono, menceritakan mengenai kehilangan ayah yang membuat ibu mereka menjadi orang tua tunggal dan harus menghidupi seluruh anak mereka.
Dikisahkan dari cicit Moewardi, Lichte Christian Purbono, pencarian Moewardi terus dilakukan hingga puluhan tahun lamanya.
Karena tak tahu di mana keberadaannya, para keluarga hanya bisa melakukan kegiatan tabur bunga di patung Moewardi yang berada di Rumah Sakit Moewardi, Solo.
Kegiatan ini rutin dilakukan oleh keluarga hingga kini, meski, tak ada satu pun anak cucu Moewardi yang tinggal di Solo.
Untuk mengenang sosoknya dan menghargai jasanya secara resmi Moewardi dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui SK Presiden RI No. 190 tahun 1964.
Selain diberi gelar pahlawan, nama Moewardi juga disematkan sebagai nama rumah sakit yang di putuskan melalui surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah tanggal 24 Oktober 1988.
Pergantian nama pun dilakukan bertepatan pada hari pahlawan 10 November 1988 dari semula RSUD Kelas B Provinsi Dati I menjadi RSUD Dr Moewardi Surakarta. (*)