HUT ke 75 Kemerdekaan RI
Dulu Berjuang Demi Kemerdekaan RI, Kini Kakek 87 Tahun Rela Jual Mainan di UNS untuk Sambung Hidup
Memang di usia senja yang semestinya dipakai untuk beristirahat, Ngatimin menyambung hidup dengan berjualan mainan.
Penulis: Adi Surya Samodra | Editor: Asep Abdullah Rowi
Nadanya begitu emosional dan meninggi tatkala menceritakan kematian sang ayah saat Agresi Militer II tahun 1948.
Ayah Ngatimin muda dicap penjuang lantaran sering membantu membangun parit perangkap tank di jalan-jalan kampung.
Terlebih lagi, kediaman Ngatimin tak jauh dari pangkalan udara tentara belanda 'Panasan' atau yang kini dikenal dengan Landasan Udara (Lanud) Adi Soemarmo.
"Pada waktu itu pukul 24.00 WIB, ayahku ikut gotong royong membnuat jebakan tank di jalan kampung. Dibikin lubang selebar dan sepanjang tank dengan kedalaman 1,5 meter," kata Ngatimin.
Antek-antek Belanda, lanjut Ngatimin, ikut serta dalam gotong royong itu sembari mendata orang yang terlibat.
Itupun langsung dilaporkan kepada tentara Belanda.
"Antek-antek Belanda menyamar pakai ikat merah putih ikut-ikutan di dalamnya," tuturnya.
Tentara Belanda mulai memburu para pejuang yang ada di kampung halaman Ngatimin muda dengan bekal data antek mereka.
Ayah Ngatimin, menjadi satu yang diburu dan berujung pada kematian.
Mayat Bergelimpangan Ditembak Belanda
Mayat-mayat warga bergelimpangan di jalanan kampung pada pukul 06.00 WIB.
"Setelah bapakku ditembak Belanda hatiku marah. Pukul 06.00 WIB, mayat penduduk kampung sudah ada 15 orang bergelimpangan di jalan," ujarnya.
Pemandangan gelimpangan mayat dan kematian sang ayah membuat Ngatimin muda membulatkan tekat untuk ikut berjuang.
Saat itu, Ngatimin masih menginjak usia kurang lebih 16 tahun.
"Marah saya. Bapak ketembak orang. Tetangga sudah jadi mayat. Saya punya pendapat ikut berjuang saja," ucap Ngatimin.