HUT ke 75 Kemerdekaan RI
Dulu Berjuang Demi Kemerdekaan RI, Kini Kakek 87 Tahun Rela Jual Mainan di UNS untuk Sambung Hidup
Memang di usia senja yang semestinya dipakai untuk beristirahat, Ngatimin menyambung hidup dengan berjualan mainan.
Penulis: Adi Surya Samodra | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Adi Surya Samodra
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Meski sudah puluhan tahun silam terlewati, tetapi Ngatimin Citro Wiyono (87) masih ingat saja detik-detik ikut memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Hari ini momentum HUT ke-75 RI menjadi wakti yang spesial baginya karena dia tak akan lupa memperjuangan kemerderkaan dari cengkraman penjajah bersama para pejuang lain di Bumi Pertiwi.
Memang di usia senja yang semestinya dipakai untuk beristirahat, Ngatimin menyambung hidup dengan berjualan mainan.
• Kisah Abah Emang, Pejuang Kemerdekaan RI yang Punya 8 Luka Tembak dari Tentara Belanda di Tubuhnya
• Nikmati Promo Hari Kemerdekaan RI ke-75 Hari Ini: Ada Hokben, Pizza Hut, MCD, KFC hingga Starbucks
Setiap hari di kediamannya di Kaplingan RT 4 RW 20, Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres, Kota Solo, kakek yang masih berapi-api menceritakan detik-detik kemerdekaan itu, menyiapkan berbagai barang dagangannya.
Dengan laba tak seberapa, ia berusaha bertahan hidup dengan profesi yang kini ditekuninya itu.
Dia menjual mainan untuk anak-anak mulai harga ribuan hingga belasan ribu yang terbilang murah di zaman sekarang ini.
Biasanya Mbah Min sapaan akrabnya menjajakan barang dagangannya di kawasan Boulevard Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo.
"Yang penting halal dan ikhlas," aku dia kepada TribunSolo.com.
Namun di balik keteguhan hatinya mengadu nasib di jalanan dengan jualan mainan, dahulu seperti apakah perannya untuk Kemerdekaan ke-75 RI saat masih dijajah Belanda?
Ya, ingatan ayahnya ditembak mati tentara Belanda saat menggandeng dirinya dan sang adik masih terekam jelas dalam ingatannya.
Mereka saat itu tengah berlari di jalanan kampung halamannya, Desa Paulan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar untuk mencari tempat persembunyian.
Pasalnya, ayahnya tengah diburu tentara dan antek Belanda karena dianggap pejuang.
Ayahnya langsung tersungkur dan meninggalkannya dan sang adik sendirian di tengah jalanan kampung.
Begitulah memoar kematian sang ayah yang masih terpatri dalam ingatan Ngatimin Citro Wiyono (87), seorang pejuang.