Berita Klaten Terbaru
Warga 5 Desa di Klaten Banjir Uang,Diguyur Rp 6,4 Miliar untuk Tanah Mereka yang Kena Tol Solo-Jogja
Uang sebesar Rp 6,4 miliar diguyur untuk warga terdampak Tol Solo-Jogja di tiga kecamatan di Kabupaten Klaten.
Penulis: Ibnu Dwi Tamtomo | Editor: Asep Abdullah Rowi
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ibnu Dwi Tamtomo
TRIBUNSOLO.COM, KLATEN - Uang sebesar Rp 6,4 miliar diguyur untuk warga terdampak Tol Solo-Jogja di tiga kecamatan di Kabupaten Klaten.
Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Klaten, Sulistiyono menjelaskan, warga yang terima ganti rugi berada di Kecamatan Ceper, Karanganom dan Ngawen.
Mereka tinggal di 5 desa, yakni Desa Kuncen, Brangkal, Senden, Ngawen dan Gatak.
"Ada 9 bidang, nilainya Rp 6.471.364.200 rupiah seluas 6407 meter persegi," jelasnya kepada TribunSolo.com, Selasa (18/5/2022).
Dia menerangkan, jika 9 bidang tanah itu merupakan susulan, setelah kemarin sempat tertunda pemberian UGR lantaran syarat belum lengkap.
Di mana beberapa minggu yang lalu pada tanggal 28 April 2022, pihaknya telah mencairkan UGR untuk 2 bidang senilai Rp 1,774 miliar.
"Karena kekurangan berkas-berkas, yang kemarin belum lengkap. Karena (ketentuan) dari pihak LMAN, kalau tidak komplit itu belum bisa untuk dicairkan," tegasnya.
Baca juga: Kasus Penjebolan Tembok Benteng Keraton Kartasura : Pemilik Lahan Bersedia Ganti, Tapi Ajukan Syarat
Baca juga: Daftar Tarif Tol Solo-Jakarta Terbaru 17 Mei 2022, untuk Kendaraan Golongan 1 Butuh Saldo Berapa?
Dia menjelaskan jika pihaknya mentargetkan jika UGR akan selesai tahun ini.
"Target penyelesaian untuk ganti rugi, akan kita selesaikan di akhir tahun ini (tahun anggaran 2022)," pungkasnya.
Kepala Desa Ngawen, Shofik Ujiyanto mengungkapkan, di Desa Ngawen total ada 126 bidang tanah yang terdampak proyek strategis nasional (PSN) Tol Solo-Jogja.
"Sampai saat ini yang baru dibayarkan sekitar 72 bidang dan sisanya belum dibayarkan, masih menunggu dari BPN dan LMAN," ujar dia
Pembayaran UGR Tol Solo-Jogja di Desa Ngawen, Kecamatan Ngawen tersebut akan dilakukan secara bertahap.
"Awalnya dibayarkan 45 bidang tanah, kemudian disusul 25 bidang tanah dan 2 bidang tanah sehingga sudah 72 bidang tanah yang dibayarkan," jelasnya.
Emak Menerima Ganti Rugi
Romdiyah (33) warga Dukuh Krangkungan RT 17 RW 7, Desa Manjungan, Kecamatan Ngawen, Klaten secara suka rela bersedia mengundurkan diri dari Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH).
Keputusan tersebut diambil lantaran dirinya termasuk salah satu orang yang mendapat uang ganti rugi pembangunan Tol Solo-Jogja.
"Saya menerima uang ganti rugi itu sejak bulan Desember 2022," kata Romdiyah saat ditemui TribunSolo.com, Kamis (21/4/2022) dirumahnya.
"Saya memutuskan keluar dari program tersebut mulai bulan Januari karena sadar diri, udah dapat rejeki terdampak tol, karena saya yakin yang membutuhkan masih banyak jadi saya milih untuk keluar," ungkapnya.
Baca juga: Kejadian Unik di Proyek Jalan Tol Solo-Jogja : Ada Tanah dengan Gugatan Terbanyak hingga 4 Kali
Baca juga: Viral Proyek Pembangunan Dermaga Kayu Senilai Rp170 Juta Bikin Warganet Geram, Kini Diperiksa KPK
Menurut Romdiyah, keputusan tersebut diambil bersama suaminya, setelah melihat keadaan yang sekarang.
"Sebelum memutuskan keluar dari PKH saya berdiskusi dulu dengan suami. Dan setelah berdiskusi panjang, akhirnya sepakat untuk keluar. Sebagai bentuk syukur keadaan yang sekarang," jelas Romdiyah.
Dirinya tak sendiri, bersama 3 KPM yang masih tetangga dekat juga mengambil keputusan yang sama untuk keluar dari KPM PKH.
Diketahui, Romdiyah menjadi KPM PKH sudah sejak 2019. Saat itu dia mendapatkan untuk 2 anaknya yang masih balita dan sekolah dasar.
"Saya menerima bantuan PKH itu sejak 2019, Walaupun tidak menerima banyak tapi saya manfaatkan untuk sekolah anak," jelasnya.
"Saya terima bertahap itu 975 kalau saya dapat dua komponen satu balita dan satu untuk SD. Untuk sekarang anak saya sudah 14 tahun SMP dan 7 tahun SD," jelanya.
Dirinya mengaku mendapatkan bagian dari uang ganti rugi tol dari tanah yang diberikan orang tua, yang dibagi bersama 5 saudaranya.
"Kemarin itu dapatnya sekitar Rp 900 juta, tapi dibagi 5 anak. Saya dapat sekitar Rp 100 juta, karena enggak semua dibagikan. Sebagian dikasihkan untuk infak.
Nantinya uang tersebut akan digunakannya untuk beberapa keperluan seperti sekolah anak, modal usaha, dan renovasi rumah.
Sehari-hari Romdiyah mengaku bekerja sebagai buruh pembuatan suvenir.
Sementara sang suami hanyalah buruh serabutan.
"Sekarang saya sehari-hari kerjanya bikin suvenir, nanti saya setorkan. Alhamdulilah orderannya banyak terus jadi bisa buat mencukupi kebutuhan sekolah," jelasnya..
"Kalau suami saya kerjanya cuma serabutan, semua yang menghasilkan uang ya dikerjakan, kadang juga buka tambal ban dirumah. Yang penting bisa buat nyekolahin anak," imbuhnya.
Dia berharap dengan keputusannya tersebut, dapat membantu orang lain yang membutuhkan PKH.
Romdiyah mengaku tak masalah dengan orang yang seharusnya tidak berhak menerima bantuan tersebut namun masih enggan untuk melepasnya.
"Kemarin sempat juga di titik rendah, saat pandemi dua-duanya butuh biaya untuk masuk sekolah. Pas kemarin saya dapat PKH, jadi sangat membantu. Itu yang saya ingat betul, jadi saat sekarang saya di posisi berkecukupan saya niatkan keluar. Agar program tersebut bisa dirasakan yang lain," katanya.
"Meski banyak yang dapat PKH ini dari kalangan orang berkecukupan namun itu tidak jadi persoalan untuk saya, karena dulu saya merasakan manfaat program itu. Saat ini saya sudah merasa mampu dan berkecukupan, maka dari itu saya milih keluar," sambungnya.
Dirinya menegaskan jika keputusannya untuk keluar bukan karena dari paksaan orang lain, namun murni keputusannya sendiri.
"Kalau saya enggak memutuskan keluar, pendamping juga enggak akan maksa keluar, tapi ini murni kesadaran saya sendiri," jelasnya.
"Saya tidak berusaha mempengaruhi yang lain untuk keluar, kalau ada yang keluar bareng dengan saya itu juga karena kesadaran mereka sendiri," tambahnya.
Sementara itu, Koordinator PKH Kecamatan Ngawen, Dwi Santoso, saat ditemui TribunSolo.com menjelaskan jika KMP yang menerima uang ganti rugi di Desa Manjungan tersebut berjumlah 60 orang.
"Yang dapat UGR itu ada 60 KPM, tapi yang mengundurkan diri dari PKH itu ada 20 KPM. Karena yang 40 orang cuma dapat sedikit, rata-rata kurang dari Rp 10 juta," jelasnya.
"Kalau menerima PKH bervarisasi ada yang setahun ada yang sudah beberapa tahun," tambahnya.
Dwi menegaska, jika pendamping tidak boleh memaksa KPM untuk keluar dari program tersebut.
"Semua yang keluar itu tidak ada pemaksaan dari pendamping atau dari pihak manapun, itu murni keputusan sendiri," katanya.
Dwi menjelaskan, nantinya untuk menggantikan kuota 20 KPM yang ditinggalkan tersebut menunggu pendataan dari Pemerintah Desa.
"Untuk kuota 20 KPM yang sudah graduasi, nantinya menunggu keputusan dari desa. Semua menunggu pendataan baru dari desa yang nanti akan diajukan ke Dinas Sosial,"
Menurutnya kehadiran Program Keluarga Harapan (PKH) sangat dirasakan manfaatnya oleh ibu-ibu keluarga penerima manfaat dalam membantu perekonomian mereka.
Total PKH Kecamatan Ngawen ada sekitar 1900 KPM dengan rata-rata setiap desa sekitar 160 KPM yang terbagi dalam 13 desa.
Saya selaku koordinator bangga atas kesadaran dan tidak ada paksaan untuk keluar dari program keluarga harapan.
(*)