Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Berita Nasional

Pengamat Iklim UGM: Kemarau Bikin Polusi Udara Makin Parah

Pengamat iklim dan lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Si. menjelaskan, musim kemarau memperparah polusi udara.

|
Penulis: Tribun Network | Editor: Ahmad Syarifudin
Kompas.com
Polusi udara di DKI Jakarta beberapa waktu lalu 

TRIBUNSOLO.COM -  Pengamat iklim dan lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Si. menjelaskan, musim kemarau yang saat ini sedang terjadi memperparah polusi udara. Hal ini disebabkan udara di musim kemarau dengan curah hujan dan kecepatan angin yang rendah jadi memengaruhi tingkat polusi udara.

"Secara teori memang benar, karena jika ada hujan maka gas hasil pembakaran akan larut dengan air dan diturunkan ke permukaan sehingga udara kembali bersih," ujarnya, seperti dilansir dari laman UGM, Kamis (10/8/2023).

"Dengan kondisi sekarang di mana sudah lama tidak hujan dan kelembaban juga cukup rendah, maka keberadaan gas tadi jadi banyak," imbuh dia.

Akan tetapi, menurutnya cuaca dan iklim bukan menjadi satu-satunya penyebab tingginya angka pencemaran udara. Namun faktor pemicu dari aktivitas manusia mulai dari sarana transportasi, industri, hingga permasalahan sampah ikut berkontribusi pada persoalan ini.

Baca juga: Pengorbanan Suami di Bontang Rela Masukkan Kaki ke Mulut Buaya Demi Selamatkan Istri, Berakhir Pilu

Kecenderungannya di musim penghujan kualitas udara lebih bagus dibanding musim kemarau, tapi pada saat pandemi kita melihat bahwa kualitas udara juga cukup baik bahkan saat musim kemarau.

"Jadi itu bukan satu-satunya variabel, meskipun musim penghujan tetap jika sumber pencemaran cukup tinggi maka kualitas udara bisa buruk juga," katanya.

Maka dari itu, masyarakat bisa memantau kualitas udara melalui Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang diperbarui setidaknya satu kali dalam sehari. ISPU digunakan untuk menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu dan didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika, dan makhluk hidup lainnya.

Adapun perhitungan ISPU dilakukan pada 7 parameter yakni PM10, PM2.5, NO2, SO2, CO, O3, dan HC. PM2.5 yang merupakan penambahan baru menjadi penting untuk dipantau karena berbahaya bagi kesehatan.

Baca juga: Belasan Prajurit Datangi Polrestabes Medan Bisa Kena Sanksi? Ini Kata Kapuspen

"Baru ditambahkan karena ternyata disinyalir akan berpengaruh pada kesehatan manusia. PM2.5 bisa masuk ke dalam saluran hidung, kalau sudah sampai paru-paru akan susah untuk keluar," jelasnya.

Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), nilai ISPU terpantau berada pada kategori sedang atau tingkat kualitas udara yang masih dapat diterima pada kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan.

Dengan nilai ISPU 84, angka ini masih di bawah batas kategori Tidak Sehat pada angka 101 – 200, namun masih lebih tinggi dari batas angka kualitas udara baik di angka 0-50. Tak hanya itu saja, adanya perubahan pada gaya hidup tetap menjadi solusi yang baik untuk mengatasi masalah pencemaran udara.

Baca juga: Kamaruddin Simanjuntak Tersangka Sehari Setelah Ferdy Sambo Lolos Hukuman Mati, Siap Buka ke Publik

Selain itu juga menggunakan transportasi umum serta masyarakat diimbau untuk tidak membakar sampah agar tidak mencemari udara.

Hal yang dapat dilakukan ialah menanam pohon. "Selain berfungsi sebagai peneduh, pohon yang ditanam di tepi jalanan sebisa mungkin dapat mengikat gas-gas berbahaya yang mengancam kesehatan," tandas dia.

Baca juga: Disodorkan Gibran sebagai Cawapres oleh Relawan, Prabowo Singgung Kehendak Rakyat, Survei, & Parpol

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved