Opini
Kepastian dalam Ketidakpastian Ekonomi Global
IHSG pada September 2024 menyentuh angka 7.813 dibandingkan dengan penutupan bursa di 11 April yang masih di level 6.262.
TRIBUNSOLO.COM - Kejutan kebijakan ekonomi dari Amerika Serikat agaknya belum akan mereda dan masih akan terus berlanjut ke episode berikutnya.
Yang terbaru adanya penundaan pengenaan tarif bagi negara di luar Tiongkok selama 90 hari.
Selain itu, Amerika Serikat juga akan bernegosiasi dengan negara-negara mitra dagangnya.
Artinya, Indonesia yang sebelumnya akan dikenai tarif 32 persen masih bisa bernegosiasi untuk menurunkan tarif tersebut meskipun Gedung Putih sendiri sudah menyampaikan bahwa akan ada tarif dasar sebesar 10 persen untuk semua barang yang akan masuk ke Amerika Serikat.
Sikap Indonesia sendiri juga sudah cukup jelas.
Presiden Prabowo Subianto dalam Sarasehan Ekonomi pada 8 April 2025 lalu di Menara Mandiri Jakarta menyampaikan bahwa Indonesia siap memangkas defisit perdagangan dengan Amerika Serikat melalui pembelian berbagai barang dari Amerika Serikat seperti kapas, gandum, minyak, gas dan pesawat terbang.
Dalam forum yang sama, Prabowo juga menyampaikan soal penghapusan kuota impor dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang disambut sangat positif oleh pasar modal.
Sejak pernyataan tersebut dikeluarkan sampaikan tanggal 11 April 2025, IHSG sudah naik di kisaran 4-5 persen.
Saham-saham utama di Bursa Efek Indonesia seperti saham perbankan dan beberapa perusahaan energi juga dalam tren yang cukup positif.
Meskipun dalam tren positif, secara umum harga saham masih belum rebound ke level tertinggi dalam 1 tahun terakhir yaitu pada bulan September 2024.
IHSG pada September 2024 menyentuh angka 7.813 dibandingkan dengan penutupan bursa di 11 April yang masih di level 6.262.
Pasar modal tentu tidak mencerminkan keseluruhan ekonomi. Jauh sebelum Presiden Amerika Serikat Donald Trump melakukan berbagai manuver kebijakan, dunia bisnis di dalam negeri sudah memberi testimoni bahwa ekonomi Indonesia tidak bisa dibilang baik-baik saja meskipun tidak juga dalam kondisi yang buruk.
Dalam banyak parameter makro ekonomi, sementara dapat disimpulkan bahwa ekonomi Indonesia dalam kondisi yang cukup baik.
Badan Pusat Statistik mempublikasikan bahwa inflasi bulan Maret 2025 masih cukup terjaga sebesar 1.03 persen YoY dan 1.65 persen MoM.
Hal ini menunjukkan daya beli masih cukup bisa diandalkan. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal 4 tahun 2024 juga masih cukup positif di 5,02 persen.
Menjadi menarik saat kemudian pada momentum Ramadhan dan Lebaran yang baru saja kita lewati menunjukkan peningkatan yang lebih rendah dari periode sebelumnya.
Kanal goodstats.id mencatat bahwa jumlah pemudik tahun 2025 turun hampir sebesar 50 juta jiwa dibanding tahun 2024.
Data ini seakan mengkonfirmasi bahwa ekonomi sedang tidak baik-baik saja dan perlu dilakukan langkah preventif maupun antisipatif untuk menjaga ekonomi Indonesia tetap on-track.
Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana pemerintah harus bersikap di episode yang penuh ketidakpastian ini.
Kesimpulan sementara atas peristiwa yang baru-baru ini terjadi adalah ketidakpastian kondisi global adalah kepastian realitas. Sehingga kita harus bersiap bahwa ketidakpastian ini menjadi norma baru dalam ekonomi global.
Episentrum kriris dan kondisi ekonomi global masih di seputaran hubungan rumit antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Yang berbeda dari sebelumnya adalah pendekatan konflik yang saat ini lebih direct dan tidak melalui lembaga internasional seperti WTO dan PBB.
Dalam kondisi ideal pemerintah perlu tetap menjaga hubungan baik dengan Tiongkok dan Amerika Serikat baik dari sisi investasi maupun perdagangan dan tidak menjerumuskan diri dalam konflik dua negara besar ini.
Biarlah konflik terpusat pada dua negara tersebut dan tidak perlu menjalar ke belahan dunia lain.
Pemerintah juga perlu terus melakukan konsolidasi dengan kekuatan ekonomi besar lain seperti Uni Eropa, Jepang, dan negara-negara Timur Tengah untuk memastikan bahwa komitmen investasi tetap berjalan dan perdagangan tetap bisa dilaksanakan dengan prinsip yang adil dan saling menguntungkan.
Dari sisi domestik langkah pemerintah untuk melakukan pembenahan struktural memang perlu diapresiasi.
Pembenahan distribusi pupuk dan mekanisme off-taker melalui Perum Bulog menjadi angin segar bagi petani yang tentu diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Proses reformasi birokrasi dan deregulasi peraturan, meskipun sudah dimulai jauh sebelum pemerintahan baru, masih perlu terus didorong dan dipercepat mengingat kondisi global yang sudah semakin cepat berganti.
Pernyataan Presiden Prabowo terkait penghapusan kuota impor dan TKDN meskipun mendapat respon positif perlu dikawal agar dalam pelaksanaannya sesuai dengan ekspektasi pasar dan pada akhirnya dapat menggerakkan ekonomi domestik.
Kondisi likuiditas yang cukup ketat dalam beberapa waktu terakhir agaknya juga perlu lebih serius diperhatikan.
Pengetatan belanja pemerintah juga perlu dibarengi dengan penurunan suku bunga surat berharga pemerintah seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Negara (SBN).
Sehingga likuiditas dapat lebih banyak terserap ke perbankan dibandingkan ke instrumen surat utang atau surat berharga pemerintah.
Tentu hal ini akan meningkatkan inflasi.
Akan tetapi hal ini perlu dilakukan untuk menjaga jumlah uang beredar sehingga ekonomi dapat terus bergerak dan bertumbuh.
Oleh:
Haris Darmawan
Dari Pajak, Pendidikan Anak Diutamakan |
![]() |
---|
Revisi UU MK : Demokrasi Tidak Cukup dengan Pemilu |
![]() |
---|
Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia pada Pokdarwis Watu Kurung: Komitmen Kembangkan Desa Wisata |
![]() |
---|
Dilema UMKM Solo: Siap Bertransformasi atau Tertinggal? |
![]() |
---|
Peternakan Hadapi Tantangan Global VS Peternakan: Sektor Penting dalam Kesejahteraan Global |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.