Pelecehan Seksual Siswa SD di Sukoharjo

Faktor Pemberat dan Dasar Pasal yang Bikin eks Kepsek di Sukoharjo Terancam Hukuman Kebiri Kimia

JPu menjatuhkan dakwaan pemberatan terhadap Dendi Irwandi (36), oknum guru sekaligus kepala sekolah yang diduga melakukan pelecehan seksual

TribunSolo.com/ Anang Ma'ruf
SIDANG - Suasana di luar ruang sidang di Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo. Dendi Irwandi (36), terdakwa kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, menjalani sidang tertutup kedua di PN Sukoharjo, Kamis (24/7/2025). 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Anang Ma'ruf

TRIBUNSOLO.COM, SUKOHARJO - Status terdakwa Dendi Irwandi (36) sebagai tenaga pendidik sekaligus kepala sekolah menjadi faktor pemberat utama dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo.

Pada sidang perdana yang digelar 17 Juli 2025, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan terhadap Dendi dengan mengacu pada Pasal 82 ayat (1), (2), dan (4) Undang-undang Perlindungan Anak.

Ketiga ayat tersebut menegaskan adanya unsur pemberatan bagi pelaku kekerasan seksual, khususnya jika pelaku adalah seorang pendidik dan jumlah korban lebih dari satu.

Kuasa hukum korban, Lanang Kujang Pananjung, menjelaskan bahwa status terdakwa sebagai guru dan kepala sekolah menjadi dasar utama penerapan pasal pemberatan dalam dakwaan.

DITAMPILKAN KE PUBLIK - Dendi Irwandi saat dihadirkan dalam persidangan kedua di Pengadilan Negeri Sukoharjo, Kamis (24/7/2025). Oknum guru sekaligus mantan kepala sekolah yang mencabuli 20 muridnya itu menggunakan kopiah dan baju berwarna putih.
DITAMPILKAN KE PUBLIK - Dendi Irwandi saat dihadirkan dalam persidangan kedua di Pengadilan Negeri Sukoharjo, Kamis (24/7/2025). Oknum guru sekaligus mantan kepala sekolah yang mencabuli 20 muridnya itu menggunakan kopiah dan baju berwarna putih. (TribunSolo.com/Anang Ma'ruf)

Ketentuan ini sesuai dengan ayat (2), yang memperberat hukuman dengan tambahan sepertiga dari pidana pokok jika pelaku memiliki hubungan kekuasaan atau posisi otoritatif terhadap anak.

Selain itu, ayat (4) dari pasal yang sama memungkinkan penjatuhan sanksi tambahan berupa pengumuman identitas pelaku ke publik dan hukuman kebiri kimia.

Langkah ini ditujukan untuk melindungi masyarakat dan memberikan efek jera terhadap pelaku.

Pemberatan hukuman juga diperkuat oleh fakta bahwa korban dalam perkara ini tidak hanya satu orang.

Baca juga: Potret Eks Kepsek yang Cabuli Muridnya saat Persidangan di Sukoharjo : Pakai Kopiah & Pakaian Putih

Dengan begitu, ancaman pidana terhadap terdakwa bisa mencapai maksimal 20 tahun penjara, bahkan disertai sanksi sosial yang berat, tergantung pada keputusan majelis hakim.

Proses hukum terhadap Dendi Irwandi masih terus bergulir, dengan agenda sidang lanjutan akan digelar dalam waktu dekat.

Mengenal Kebiri Kimia: Langkah Hukum untuk Pelaku Kekerasan Seksual Anak

Kebiri kimia kembali menjadi sorotan publik Indonesia setelah kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.

Metode ini dianggap sebagai salah satu bentuk hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual berat, khususnya terhadap anak di bawah umur.

Kebiri kimia atau chemical castration bukanlah metode penyiksaan fisik seperti yang banyak dibayangkan, melainkan tindakan medis yang dilakukan dengan menyuntikkan zat tertentu ke tubuh pelaku untuk menurunkan kadar hormon testosteron.

Tujuannya adalah untuk menekan hasrat seksual, sehingga pelaku tidak lagi memiliki dorongan seksual yang tinggi.

Dasar Hukum dan Pelaksanaan

Kebiri kimia diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.

Dalam regulasi tersebut, kebiri kimia dapat diterapkan sebagai hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, selain hukuman penjara dan denda. 

Kebiri kimia hanya dapat dijatuhkan oleh pengadilan dan wajib dilaksanakan di bawah pengawasan dokter serta pendampingan dari tim psikiater.

Hukuman ini tidak berlaku seumur hidup. Umumnya, kebiri kimia dilakukan selama dua tahun atau lebih, tergantung hasil evaluasi medis berkala.

Setelah periode tersebut, pelaku akan menjalani pemeriksaan untuk menentukan apakah efek kebiri masih diperlukan atau bisa dihentikan.

Pro dan Kontra di Masyarakat

Sejak awal pengesahannya, kebiri kimia menuai pro dan kontra.

Pihak yang mendukung menilai bahwa hukuman ini dapat menjadi efek jera sekaligus pencegah berulangnya tindak pidana seksual. 

Para aktivis perlindungan anak menyebut kebiri kimia sebagai langkah maju dalam menjaga keselamatan anak-anak.

Namun di sisi lain, sejumlah organisasi profesi medis, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sempat menolak pelaksanaan kebiri kimia karena dianggap bertentangan dengan kode etik kedokteran.

Mereka menilai tindakan tersebut tidak sepenuhnya bersifat medis, melainkan lebih kepada intervensi hukum yang berisiko menempatkan dokter dalam dilema etik.

Studi Kasus dan Implementasi

Salah satu pelaku yang dijatuhi hukuman kebiri kimia pertama kali adalah seorang narapidana kasus kekerasan seksual terhadap anak di Mojokerto pada tahun 2020. Ia menjadi contoh implementasi kebiri kimia secara nyata di Indonesia.

Prosedur dilakukan setelah vonis berkekuatan hukum tetap, dan diawasi oleh tim medis dari Kementerian Kesehatan.

Meski demikian, implementasi kebiri kimia di Indonesia masih berjalan sangat terbatas.

Faktor teknis, ketersediaan tenaga medis, serta kesiapan fasilitas menjadi hambatan utama.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved