Tok! Insentif Pariwisata Telah Terbit, Manfaatkan Sebelum Habis

DJP menerbitkan kebijakan fiskal yang berpihak pada pelaku usaha pariwisata melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025

Editor: Hanang Yuwono
Dok. pribadi
Alfandi Fatchurohman, Penyuluh Pajak DJP Kanwil Jateng II, penulis artikel Tok! Insentif Pariwisata Telah Terbit, Manfaatkan Sebelum Habis yang tayang di TribunSolo.com, Selasa (18/11/2025). 

Oleh: Alfandi Fatchurohman, Penyuluh Pajak DJP Kanwil Jateng II

Ekonomi Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2025 hanya sebesar 4,87 persen, meski sempat naik menjadi 5,12 persen di triwulan II. Namun, analis memprediksi pertumbuhan pada triwulan III dan IV akan kembali melambat.

Kondisi ini menuntut langkah cepat pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi, terutama di sektor-sektor yang paling terdampak. Salah satu sektor yang terpukul cukup berat adalah pariwisata. Selain karena pelambatan ekonomi, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat dan daerah turut mempersempit ruang gerak pelaku usaha wisata.

Sebagai respon, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan kebijakan fiskal yang berpihak pada pelaku usaha pariwisata melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025. Aturan ini menjadi perubahan atas PMK Nomor 10 Tahun 2025 dan memperluas cakupan fasilitas insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) agar sektor pariwisata dapat bertahan.

Sebelumnya, fasilitas PPh 21 DTP hanya diberikan kepada pegawai di sektor industri seperti tekstil, alas kaki, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit. Kini, melalui PMK 72 Tahun 2025, sektor pariwisata juga memperoleh hak yang sama atas insentif tersebut. Kebijakan ini menjadi kabar gembira bagi dunia wisata yang tengah berjuang menghadapi tekanan ekonomi.

Sektor Pariwisata dan Dampak Pelambatan Ekonomi

Pemangkasan anggaran, menurut penelitian Blanchard (2003), menimbulkan efek domino dengan multiplier 0,7 hingga 1,2 kali. Dilansir dari Asosiasi Pelaku Pariwisata (Aphuri), kontraksi ekonomi akibat efisiensi anggaran dapat mencapai Rp214,68 triliun hingga Rp368,03 triliun, setara dengan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,11–1,88 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Selain itu, kondisi ekonomi global yang tidak menentu memperburuk situasi. Data BPS mencatat bahwa pada Mei dan Agustus 2025 terjadi deflasi, yang menandakan daya beli masyarakat sedang melemah. Bila masyarakat menahan pengeluaran, sektor pariwisata akan terkena imbas paling awal karena termasuk kebutuhan tersier.

Menurut data Bank Indonesia (BI), rasio proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) pada Agustus 2025 hanya sebesar 74,8 persen, menurun dari bulan sebelumnya yang mencapai 75,4 persen. Penurunan ini menunjukkan masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.

Akibatnya, kebutuhan terhadap layanan wisata seperti hotel, vila, restoran, kedai makanan, hingga biro perjalanan turut menurun dibanding tahun 2024. Data BPS juga memperkuat kondisi tersebut: tingkat hunian kamar hotel rata-rata hanya mencapai 52,79 persen pada Juli dan 50,51 persen pada Agustus 2025. Angka ini jauh di bawah tingkat hunian tahun sebelumnya yang mencapai 56,36 persen dan 54,85 persen.

Situasi tersebut membuat banyak pelaku usaha wisata mengalami kesulitan menjaga likuiditas. Pendapatan yang menurun menyulitkan mereka untuk membayar gaji karyawan tepat waktu. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan pengurangan tenaga kerja bahkan penutupan usaha.

Melihat kondisi ini, DJP mengambil langkah strategis dengan memberikan fasilitas fiskal bagi sektor pariwisata. Pemberian insentif PPh 21 DTP diharapkan dapat membantu perusahaan mempertahankan pegawainya tanpa harus mengorbankan stabilitas keuangan.

Skema Insentif Pajak dan Cara Memanfaatkannya

Tujuan utama kebijakan ini tidak hanya untuk membantu sektor pariwisata bertahan, tetapi juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan meningkatnya aktivitas ekonomi, diharapkan kesejahteraan masyarakat pun membaik dan tingkat pengangguran menurun.

Dalam PMK 72 Tahun 2025, terdapat tambahan 77 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) di sektor pariwisata yang berhak atas fasilitas PPh 21 DTP. KLU tersebut meliputi berbagai jenis usaha seperti hotel, penginapan, restoran, kedai makanan, spa, panti pijat, agen tur, dan biro perjalanan. Selama memenuhi kriteria, semua jenis usaha pariwisata dapat memanfaatkan insentif ini.

Subjek penerima insentif meliputi pegawai tetap dan tidak tetap yang bekerja pada perusahaan dengan KLU yang sesuai dengan lampiran PMK. Untuk pegawai tetap, penghasilan bruto maksimal yang dapat memperoleh fasilitas ini adalah Rp10 juta per bulan dan tidak sedang menerima insentif pajak lain.

Sementara itu, untuk pegawai tidak tetap, rata-rata upah harian harus di bawah Rp500 ribu atau maksimal Rp10 juta bila penghasilannya dibayar bulanan. Periode pemberian insentif ini berlaku untuk masa pajak Oktober hingga Desember 2025. Pemberi kerja wajib membayarkan insentif pajak kepada pegawai tersebut secara tunai.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved