Fakta Menarik Tentang Wonogiri

Sejarah Tari Kethek Ogleng Khas Wonogiri, Dulu Diciptakan untuk Hibur Raja Mataram yang Berduka

Tarian ini menggambarkan gerakan monyet (kethek) yang lincah, jenaka, namun juga memiliki makna mendalam.

Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Surya/Didik Mashudi
TARI KETHEK OGLENG - Seniman Kota Kediri saat berlatih tarian Kethek Ogleng di Taman Sekartaji beberapa waktu lalu. Beginilah sejarah Tari Kethek Ogleng hingga jadi tarian ikon Wonogiri. 

TRIBUNSOLO.COM, WONOGIRI - Tari Kethek Ogleng merupakan salah satu kesenian rakyat yang unik dan sarat nilai budaya di tanah Jawa.

Tarian ini menggambarkan gerakan monyet (kethek) yang lincah, jenaka, namun juga memiliki makna mendalam.

Awalnya berasal dari Sampung, Ponorogo, tarian ini kemudian menyebar ke berbagai daerah seperti Pacitan, Gunungkidul, dan Wonogiri, hingga akhirnya menjadi ikon seni dan budaya Kabupaten Wonogiri sejak tahun 1967.

Baca juga: Sejarah Huzarensla, Kuliner Perpaduan Belanda-Jawa yang jadi Favorit Putri Mangkunegaran Solo

Asal-usul dan Sejarah Kethek Ogleng

Menurut berbagai sumber sejarah, tarian ini pertama kali diciptakan oleh masyarakat Sampung, Ponorogo, pada masa ketika Raja Mataram bersembunyi di wilayah tersebut akibat peperangan.

Untuk menghibur sang raja yang sedang berduka, masyarakat setempat mempersembahkan tarian yang menirukan gerakan hewan monyet yang banyak dijumpai di hutan Sampung.

Dengan kostum menyerupai tokoh Anoman dari kisah Ramayana dan gerakan yang lucu, sang raja pun merasa terhibur.

Di balik pertunjukan itu, masyarakat menyelipkan doa agar sang raja bisa merebut kembali kerajaannya—seperti halnya Rama yang dibantu Hanuman dalam epos Ramayana.

Baca juga: Sejarah Garang Asem, Kuliner Legendaris Solo yang jadi Salah Satu Menu Favorit Mangkunegara VI

Dari situlah nama Kethek Ogleng lahir.

Kata kethek berarti “monyet”, sementara ogleng merupakan tiruan bunyi gending “ogleng, ogleng” yang mengiringi tarian tersebut.

Perkembangan di Pacitan dan Wonogiri

Tarian ini kemudian berkembang pesat di daerah Pacitan, khususnya di Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan.

Pada tahun 1963, seorang pemuda bernama Sutiman, yang saat itu berusia 18 tahun dan tergabung dalam kelompok Reog Ponorogo, membawa kesenian Kethek Ogleng ke Pacitan.

Atas permintaan Kepala Desa Tokawi, Haryo Prawiro, tarian ini pertama kali dipentaskan dalam acara hajatan pernikahan pada akhir 1963.

Setahun kemudian, Bupati Pacitan RS Tedjo Sumarto bersama Dinas Pendidikan setempat meminta agar pertunjukan Kethek Ogleng diberi latar cerita rakyat Panji Asmoro Bangun, agar memiliki alur seperti pertunjukan Reog.

Baca juga: Di Solo, Ketua TPUA Tuding Pencalonan Wapres Gibran Cacat Konstitusi : Tidak Sah!

Dari Pacitan, kesenian ini kemudian menyebar ke Wonogiri pada tahun 1967.

Di daerah ini, Darjino memperkenalkan Kethek Ogleng, kemudian Suwiryo menyempurnakan gerakannya.

Setelah Suwiryo wafat, tarian ini dilestarikan oleh Sukijo, hingga akhirnya resmi menjadi ikon Kabupaten Wonogiri.

Makna Cerita dan Gerakan Tarian

Kethek Ogleng di Wonogiri banyak mengangkat kisah Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji.

Dalam cerita tersebut, Dewi Sekartaji melarikan diri karena dijodohkan dengan pangeran lain, dan menyamar sebagai Endang Rara Tompe. Panji Asmoro Bangun, sang kekasih, menyusul dan menyamar sebagai seekor monyet (kethek) demi menemukan kekasihnya.

Pertemuan mereka diwarnai berbagai peristiwa lucu dan mengharukan sebelum akhirnya keduanya kembali ke Kerajaan Jenggala untuk menikah.

Gerakan tariannya tidak memiliki pola baku.

Baca juga: Sejarah Kampung Sewu di Tepi Bengawan Solo, Diyakini Lebih Tua Dibandingkan Berdirinya Kota Solo

Para penari menirukan perilaku monyet secara spontan, dengan gaya atraktif, akrobatik, bahkan kadang berinteraksi langsung dengan penonton untuk menari atau bercanda bersama. Inilah yang membuat tarian ini sangat hidup, dinamis, dan menghibur.

Musik dan Kostum yang Khas

Tarian Kethek Ogleng diiringi oleh gamelan dengan gending Gancaran Pancer, yang bunyinya menirukan suara “ogleng, ogleng.” Kostum para penari menyerupai Anoman, namun tidak selalu berwarna putih.

Busananya beragam sesuai tema cerita dan selera pemesan acara.

Biasanya, pertunjukan Kethek Ogleng ditampilkan dalam acara panen raya, pesta hajatan, khitanan, nazar kesembuhan, atau perayaan pencapaian tertentu di masyarakat.

Dalam beberapa pertunjukan, penari juga menampilkan atraksi kucingan — yaitu gerakan akrobatik menari di atas tali yang diikat di antara dua bambu.

Kini, Kethek Ogleng tidak hanya menjadi hiburan rakyat, tetapi juga bagian dari identitas budaya masyarakat agraris Wonogiri.

Berdasarkan penelitian W. Warto dalam jurnal “Revitalisasi Kesenian Kethek Ogleng untuk Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Wonogiri”, kesenian ini masih aktif di beberapa kecamatan seperti Nguntoronadi, Ngadirojo, Slogohimo, Jatisrono, Sidoharjo, Kismantoro, dan Tirtomoyo.

Pada tahun 2018, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menetapkan Tari Kethek Ogleng sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dengan nomor registrasi 201800728, dalam domain seni pertunjukan.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved