Sejarah Kuliner Legendaris

Sejarah Semar Mendem, Jajanan Keraton yang Masih Eksis di Solo, Namanya Ternyata sebagai Pengingat

Kini, semar mendem juga mudah dijumpai di luar lingkungan keraton, dijual berdampingan dengan aneka jajanan pasar.

Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Sajian Sedap
KULINER LEGENDARIS SOLO - Ilustrasi semar mendem, makanan khas Keraton Solo, Jawa Tengah. Beginilah sejarah semar mendem. 
Ringkasan Berita:
  • Semar mendem adalah kuliner tradisional Keraton Solo yang masih eksis dan mudah ditemukan, termasuk di acara adat seperti Sekaten dan Suro.
  • Bentuknya mirip lemper, namun dibalut kulit tipis dari telur-terigu dan berisi ayam suwir atau abon, dengan filosofi agar pemimpin tidak “mabuk” kekuasaan seperti tokoh Semar.
  • Kini mulai langka, tetapi masih bisa dibeli di Pasar Gede Solo, salah satunya di warung Semar Mendem Mbah Pat milik Toni.

 

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Semar mendem merupakan salah satu kuliner tradisional yang sampai saat ini masih eksis di Solo, Jawa Tengah.

Semar mendem hampir selalu hadir dalam berbagai perayaan adat keraton, seperti Sekaten, Suro, serta upacara-upacara penting lain yang berkaitan dengan tradisi Jawa.

Kini, semar mendem juga mudah dijumpai di luar lingkungan keraton, dijual berdampingan dengan aneka jajanan pasar.

Baca juga: Asal-usul Nama Kecamatan Teras Boyolali : Ada Legenda Nyi Ageng Pandan Arang Bertanya Arah Jalan

Sekilas Tentang Semar Mendem

Secara bentuk, semar mendem sekilas mirip dengan lemper.

Keduanya sama-sama terbuat dari beras ketan sebagai bahan utama.

Namun, semar mendem memiliki ciri khas yang membedakannya: balutan kulit tipis berwarna kuning yang terbuat dari campuran telur, tepung terigu, dan air.

Balutan ini menghasilkan tekstur lembut sekaligus cita rasa gurih yang berbeda dengan lemper yang dibungkus daun pisang.

Baca juga: Sejarah Kerupuk Kaleng Bisa Sampai Solo : Dibawa Perantau Jawa Barat, Pernah jadi Simbol Kemelaratan

Isiannya pun beragam, mulai ayam suwir hingga abon sapi, tergantung penjual atau tradisi keluarga pembuatnya.

Menurut lidah TribunSolo.com, makanan ini nyaris sama rasanya dengan lemper, namun untuk semar mendem rasa ketannya dominan datar.

Cocok dimakan untuk sarapan atau sebagai pendamping ngeteh atau ngopi.

Asal-usul Nama dan Filosofi Semar Mendem

Nama Semar Mendem berasal dari tokoh pewayangan Jawa, Semar, sosok pemimpin Punakawan yang digambarkan bijaksana, rendah hati, sekaligus menjadi penasihat para ksatria.

“Mendem” dalam bahasa Jawa berarti mabuk. Secara harfiah, semar mendem berarti Semar yang sedang mabuk.

Menurut cerita tutur, nama ini muncul karena bentuk semar mendem yang bulat, berisi, dan mengingatkan pada tubuh Semar.

Baca juga: Sejarah Kimlo, Kuliner Legendaris Tionghoa-Indonesia yang jadi Inspirasi Lahirnya Timlo Khas Solo

Konon, Semar digambarkan sangat menikmati makanan, seolah-olah tak bisa berhenti mengunyah hingga tampak seperti orang yang “mabuk” kenikmatan.

Namun, di balik kesan humoris itu, filosofi semar mendem sangat dalam.

Hidangan ini mengingatkan para pemimpin, khususnya raja di masa lalu, agar tidak “mabuk” oleh kekuasaan, harta, atau pujian.

Semar sebagai simbol kebijaksanaan menjadi pengingat bahwa pemimpin harus mengutamakan kepentingan rakyat dan menjaga laku hidup yang lurus.

Bisa Ditemukan di Pasar Gede Solo

Meski dahulu sering hadir dalam acara istimewa dan lingkungan keraton, semar mendem kini mulai jarang ditemui.

Namun, beberapa pedagang masih setia melestarikannya, salah satunya Toni, penjual semar mendem di Pasar Gede Solo yang sudah mewarisi resep turun-temurun dari ibunya.

Baca juga: Sejarah Mie Ayam : Kuliner yang Aslinya dari Tiongkok, Mulai Populer di Solo Raya pada 1980-an

Warungnya bernama Semar Mendem Mbah Pat.

Lokasinya ada di barat pintu masuk Pasar Gede Solo, berdampingan dengan aneke penjual makanan lainnya.

Tidak sedikit pula pembeli dari luar kota yang datang hanya untuk mencicipinya.

Di Pasar Gede Solo, suasana yang khas membuat pengalaman menikmati semar mendem semakin istimewa

Aroma rempah, ramainya pedagang, dan keramaian pasar menciptakan atmosfer yang menyatu dengan kuliner tradisional ini.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved