Sejarah di Kota Solo

Serupa Tapi Tak Sama, Ini Perbedaan Wayang Solo dan Wayang Jogja, Bisa Dilihat Secara Kasat Mata

Wayang kulit merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang paling ikonik dan melambangkan kebijaksanaan serta filosofi kehidupan Jawa.

Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
TribunSolo.com
PAGELARAN WAYANG - Salah satu dalang cilik saat mementaskan wayang kulit, Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (31/12/2016). Ini perbedaan wayang kulit Solo dan Yogyakarta. 
Ringkasan Berita:
  • Wayang kulit Solo dan Jogja berbeda dari sumber cerita, bentuk wayang, hingga gaya pementasan.
  • Gaya Solo lebih menonjolkan gerak (sabetan) dan bentuk wayang yang ramping; Jogja fokus pada dialog, cerita, dan tokoh yang lebih kekar dan ekspresif.
  • Perbedaan karakter tokoh, bunyi keprak, serta adegan khas seperti gara-gara dan limbukan mencerminkan warisan budaya keraton masing-masing.

 

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Wayang kulit khas Solo dan DI Yogyakarta ternyata memiliki banyak perbedaan.

Sebelum mengulas perbedaan wayang kulit Solo dan Yogyakarta, ada baiknya tahu terlebih dahulu soal sejarah wayang.

Wayang kulit merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang paling ikonik dan melambangkan kebijaksanaan serta filosofi kehidupan Jawa.

Baca juga: Kenapa Pria Solo Simpan Keris di Belakang saat Pakai Baju Adat? Ternyata Ini Alasan dan Maknanya

Dipercaya telah berkembang sejak 1.500 tahun sebelum Masehi, wayang kulit tetap menjadi media pewayangan penting bagi masyarakat Jawa, baik dari segi edukasi moral maupun hiburan.

Di antara gaya (gagrak) wayang Jawa, dua aliran paling menonjol adalah gaya Surakarta (Solo) dan gaya Yogyakarta (Jogja).

Meski keduanya berada dalam tradisi yang sama, gaya Solo dan Jogja punya karakteristik berbeda yang khas dari bentuk wayang, bunyi alat musik pendukung, hingga sumber lakonnya.

Artikel ini membahas aspek perbedaan utama antara wayang kulit Solo dan Jogja, serta makna budaya di balik perbedaan tersebut, dihimpun TribunSolo.com dari berbagai sumber.

Sejarah Singkat Wayang Kulit di Jawa

Wayang kulit purwa, yang kisahnya diambil dari kitab Ramayana dan Mahabharata, telah menjelma sebagai seni pertunjukan simbolik dalam kebudayaan Jawa.

Tokoh-tokoh wayang mewakili nilai-nilai moral, konflik manusiawi, dan ajaran spiritual yang diwariskan turun-temurun lewat pedalangan.

Dalam perjalanan zaman, dua gagrak besar muncul di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta: gaya Solo dan gaya Jogja.

Masing-masing mengembangkan karakteristik visual, teknik pentas, dan cerita dengan nuansa lokal yang berbeda.

Baca juga: Serupa tapi Tak Sama, Ini Lho Perbedaan Batik Solo dan Batik Jogja, Bisa Terlihat dari Motifnya

1. Sumber Cerita (Lakon)

Salah satu fondasi pembeda antara gaya Solo dan Jogja terletak pada rujukan teks lakon:

Gaya Solo: mengacu pada Serat Pustakaraja Purwa, karya Ranggawarsita.

Serat ini memberikan kerangka cerita Mahabharata dan kisah-kisah wayang dengan gaya naratif khas Solo.

Gaya Jogja: bersandar pada Serat Purwakandha karya HB V, yang membawa nuansa berbeda dalam penyajian cerita, termasuk tokoh-tokoh, adegan, dan filosofi moral yang diangkat.

Perbedaan sumber ini secara signifikan memengaruhi bagaimana dalang memilih lakon (cerita) untuk dipentaskan, karakter tokoh yang muncul, dan penekanan tema dalam setiap pementasan wayang.

SEKOLAH DALANG - Pergelaran Wayang Kulit Pasinaon Dalang ing Mangkunegaran. 

Pasinaon Dalang ing Mangkunegaran mengadakan acara pergelaran wayang kulit menampilkan Dalang M.Dm. Sujarwo Joko Prehatin S.Sn. (Pangesuh Pedalangan Praja Mangkunagaran) membawakan lakon Nakulo Kromo.
SEKOLAH DALANG - Pergelaran Wayang Kulit Pasinaon Dalang ing Mangkunegaran. (Instagram @mangkunegaran)

2. Bentuk Wayang (Desain Kulit dan Postur)

Secara visual, wayang Solo dan Jogja memperlihatkan ciri fisik yang sangat khas:

Wayang Solo: umumnya berbadan ramping dan tinggi, dengan postur yang lebih proporsional.

Situs-situs yang menghubungkan bagian kaki (siten) bisa memiliki variasi warna, menunjukkan detail artistik yang rumit dan elegan.

Wayang Jogja: cenderung lebih kekar dan berotot, pundaknya tampak kuat, dan posisi tubuhnya lebih menunduk.

Baca juga: Mengintip Sembilan Kesatuan Prajurit Keraton Solo, Tampil di Momen Adat Penting

Posisi kaki biasanya berjingkat, seperti seorang penari, memberi kesan dinamis dan ekspresif.

Kepala tokoh wayang Jogja lebih besar, pundak tinggi, dan raut wajah kadang tampak tegas atau bahkan sinis.

Perbedaan ini tidak hanya soal estetika; bentuk fisik wayang berkorelasi dengan teknik pementasan (sabetan) dan pesan visual yang ingin disampaikan dalam lakon.

3. Wajah Tokoh dan Hiasan Raut

Detail pada wajah wayang juga menjadi indikator gaya:

Wayang Solo: wajahnya digambar dengan guratan kumis natural (tanpa pewarna), dan jenggotnya biasanya hanya berkembang di dagu.

Hal ini memberikan kesan sederhana dan elegan.

Wayang Jogja: kumis kadang diwarnai merah, dan jenggot bisa menjangkau hingga pangkal telinga, menekankan ekspresi wajah yang lebih dramatis atau simbolik.

Hiasan lain seperti aksesori hias pada bokongan (pakaian bagian bawah) juga berbeda:

  • Tokoh dalam gaya Solo, seperti raja atau Pandawa, sering memakai bunga menjuntai di ikat pinggang keris.
  • Dalam gaya Jogja, hiasan semacam ini jarang atau tidak digunakan.
  • Aksesori punggung (“praba”) juga berbeda: pada gagrak Solo, tokoh seperti Antareja atau Gandamana mungkin tidak memakai praba, sedangkan di Jogja praba sering digunakan. Sebaliknya, tokoh seperti Jayadrata memakai praba di Solo tetapi mungkin tidak di Jogja.

Detail-detail ini menunjukkan bahwa pahat kulit wayang bukan sekadar artistik, tetapi sarat simbolisme sosial, kasta, dan karakter tokoh.

Baca juga: Alasan Gibran Tak Pakai Beskap saat Hadiri Akad Nikah Idayati-Anwar Usman: Biar Gak Ribet

4. Keprak / Kecrek (Alat Bunyi)

Keprak adalah komponen penting dalam pentas wayang: lempengan logam yang digantungkan di sisi kotak dalang, lalu dipukul oleh cempala (alat pemukul) untuk menghasilkan bunyi pengiring gerakan wayang.

Gaya Solo: menggunakan 4–6 lempeng logam (besi) tanpa kayu, dipukul oleh cempala logam yang dijepit di kaki dalang, menghasilkan suara “crek crek crek”.

Gaya Jogja: hanya memakai satu lempeng kayu tebal dan satu lempeng logam, dengan cempala logam juga; bunyinya lebih halus dan ritmis, “ting ting ting”.

Bunyi keprak sangat menentukan irama pementasan, mengiringi gerakan wayang seperti berjalan, menari, atau bertarung.

Perbedaan struktur keprak ini menghasilkan warna musikal yang berbeda dalam pagelaran antara gaya Solo dan Jogja.

5. Komposisi Pakeliran (Gaya Pementasan)

Cara memainkan wayang atau "pakeliran" sangat dipengaruhi oleh gagrak:

  • Gagrak Solo lebih menitikberatkan pada sabetan (ekspresi gerak wayang) dibanding dialog.

Adegan perang biasanya diperpanjang dan dimainkan secara ekspresif.

Karena tubuh wayang Solo yang lebih proporsional, sabetan bisa lebih beragam dan dramatis, tetapi dialog dalang relatif dipersingkat.

  • Gagrak Jogja lebih menonjolkan storytelling: dialog dan narasi memainkan peran besar.

Adegan perang mungkin singkat, tapi diikuti oleh diskusi mendalam antar tokoh.

Narasi ini memberikan penonton pemahaman cerita yang lebih utuh, terutama bagi yang menonton secara audio seperti radio.

Perbedaan ini mencerminkan filosofi berbeda: Solo mengeksplorasi gerak fisik dan seni dramatik; Jogja mengutamakan cerita, moralitas, dan pengertian filosofis.

6. Penokohan Tokoh Wayang

Tokoh-tokoh penting dalam kisah Mahabharata dan Ramayana juga dibedakan secara berbeda antara dua gagrak:

Antasena / Antareja:

Gaya Solo: tidak dikenal tokoh bernama Antasena; yang ada justru Antareja, putra Bima dan Dewi Nagagini.

Gaya Jogja: dikenal tokoh Raden Antasena, anak Bima dan Dewi Urang Ayu.

Tokoh lain:

  • Dalam gagrak Solo, tokoh seperti Durna digambarkan berhati baik, sementara Sengkuni memiliki watak jahat.
  • Sebaliknya, dalam gagrak Jogja, Durna bisa digambarkan sebagai tokoh kelam, sementara Sengkuni kadang memiliki karakter yang lebih kompleks.

Penokohan ini tidak hanya kenyataan dramaturgis, tetapi juga merefleksikan pandangan moral dan sosial pemeran dalam mitologi Jawa.

7. Adegan Tambahan: Gara-Gara & Limbukan

Dua elemen pentas wayang yang juga berbeda antara gagrak:

Gara-gara (adegan punakawan):

Pada gagrak Jogja, hadir di hampir semua pagelaran.

Dalam gagrak Solo, tidak selalu muncul.

Limbukan (adegan khas yang menampilkan Cangik dan Limbuk):

Selalu ada dalam pagelaran Solo modern.

Dahulu di Jogja tidak selalu dipentaskan, meskipun kini sudah banyak digunakan kembali.

Kehadiran atau ketiadaan elemen-elemen ini turut memperkaya variasi pertunjukan wayang dan menambah warna lokal dari setiap gagrak.

Makna Filosofis dan Budaya di Balik Perbedaan

Perbedaan gaya antara wayang Solo dan Jogja mencerminkan warisan budaya keraton yang berbeda:

  • Keraton Solo mungkin lebih menekankan ekspresi fisik dan estetika yang halus, yang tercermin dalam postur wayang yang lebih ramping dan gerakan yang diarahkan.
  • Keraton Jogja lebih menekankan narasi, cerita moral, dan dialog filosofis, yang terlihat dari cara pentas dan penggambaran tokoh.

Kedua gaya bukan hanya soal estetika visual, tetapi mencerminkan pandangan nilai budaya, kekuasaan, dan identitas sosial yang unik dari setiap daerah Jawa.

Bagi para pecinta wayang dan budayawan, memahami perbedaan ini berarti menghargai keragaman dan kedalaman budaya Jawa yang sudah teruji oleh waktu.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved