Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Tapera Jadi Bantuan atau Beban Buruh

3 Pandangan Buruh Solo Jateng soal Tapera, Dilema Tak Bisa Menabung, Biaya Hidup Meroket Tiap Tahun

Pro dan kontra pun bermunculan seiring bergulirnya wacana penerapan Tapera yang menyasar kepada buruh dan pegawai swasta.

tapera.go.id
Ilustrasi Tapera yang jadi polemik beberapa waktu belakangan. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Andreas Chris Febrianto Nugroho

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Tabungan perumahan rakyat (Tapera) kini menjadi sorotan usai muncul wacana akan diterapkan kepada buruh dan pegawai swasta beberapa waktu lalu.

Pro dan kontra pun bermunculan seiring bergulirnya wacana penerapan Tapera yang menyasar kepada buruh dan pegawai swasta.

Lantas bagaimana pendapat buruh di kota Solo dengan adanya wacana penerapan Tapera dari sisi mereka?

1. Mulai Pertanyakan Wacana Tapera

TribunSolo.com mencoba menghubungi Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Solo, Wahyu Rahadi menjelaskan meski belum ada kejelasan terkait penerapan Tapera, tetapi sudah banyak rekan sesama buruh yang mulai mempertanyakan terkait hal tersebut.

Bukan tanpa alasan, Wahyu menjelaskan bahwa ada banyak misinformasi tentang Tapera saat disangkutkan dengan upah yang diterima tiap bulannya oleh para buruhnya.

Baca juga: Mahasiswa Demo di DPRD Solo Jateng, Menolak Program Tapera dan Minta RUU Perampasan Aset Disahkan

Wahyu menjelaskan, gaji buruh di Kota Solo menurut Upah Minimum Kota (UMK) hanya sebesar Rp 2.241.000 per bulan, belum termasuk potongan-potongan yang harus dibayar oleh para buruh.

Dengan kata lain, buruh di kota Solo hanya bisa mengantongi kurang dari gaji tersebut tiap bulannya.

Lebih jelasnya, Wahyu mengungkapkan bahwa setidaknya setiap bulan buruh di Kota Solo sudah menanggung beban potongan sebesar 4 persen dari upah mereka per bulan.

Potongan-potongan tersebut antara lain, jaminan hari tua sebesar 2 persen, potongan BPJS Kesehatan sebesar 1 persen, dan jaminan pensiun sebesar 1 persen.

"Memang yang diterima buruh itu setiap bulannya yang pasti akan kena potongan jaminan hari tua itu 2 persen dari upahnya. Kemudian 1 persen untuk bayar BPJS kesehatan dan 1 persen untuk jaminan pensiun. Itu yang pasti dibayarkan tiap bulannya," ungkap Wahyu.

Dengan kata lain, saat ini buruh di kota Solo setiap bulannya hanya membawa pulang upah bersih sebesar Rp 2.151.360.

2. Biaya Hidup Terus Meroket

Solo atau Surakarta masuk dalam kategori kota dengan biaya hidup termurah. Faktor ini ditengarai bakal memudahkan para buruh bila wacana Tapera diterapkan.

Tapi fakta di lapangan nyatanya berbeda. Agaknya privilege tersebut tidak bisa dirasakan oleh para buruh swasta.

Dilansir dari berbagai sumber, biaya untuk tempat tinggal di Kota Solo seperti indekos bisa memakan dana Rp 500 ribu per bulan untuk kos dengan kategori biasa.

Sementara biaya makan untuk satu orang bisa memakan dana sebesar Rp 300 ribu per bulan di Kota Solo.

Namun hal berbeda diungkapkan oleh Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Solo, Wahyu Rahadi dari data dan survei yang pernah dilakukan oleh serikat buruh di Kota Solo pada tahun 2022 silam.

Wahyu menyebutkan bahwa buruh di kota Solo setidaknya menghabiskan 70 persen dari upah bersih yang ia terima tiap bulannya untuk biaya hidup.

Bukan hanya biaya makanan maupun tempat tinggal, tetapi survei yang dilakukan oleh pihak Wahyu mengatakan bahwa biaya seperti hiburan dan keperluan sandang pun seharusnya dimasukkan ke dalam pengeluaran bulanan buruh swasta.

Baca juga: Buruh di Solo Jateng Mulai Pertanyakan Wacana Tapera, Takut Gaji Makin Terkikis Tiap Bulannya

"Itu ukurannya yang kita pakai PP 78. Yaitu ada 60 item PP 78, kita mensurvei harga-harga di pasar-pasar dan kebutuhan sudah diatur oleh pemerintah dengan munculnya PP 78. Dan kami telah mensurvei kebutuhan layak dari pada kawan buruh baik kebutuhan konsumsi, perumahan, sandang, kesehatan, hiburan, itu ada di situ," kata Wahyu.

"Di tahun 2022 November, kami dari 4 serikat pekerja itu mensurvei angka pengeluaran buruh tiap bulannya mencapai Rp 2,4 juta," tambahnya.

Namun Wahyu menegaskan data tersebut jika dikomparasikan dengan sejumlah penelitian yang ada.

Rata-rata kebutuhan konsumtif di Kota Solo per kapita mencapai Rp 1,7 juta.

"Kalau kita bicaranya data yang setiap tahunnya selalu muncul. Kebutuhan konsumtif di Solo itu rata-rata per kapita orang itu kan Rp 1,7 juta per bulan. Kebutuhan konsumsi itu menghabiskan hampir 70 persen upah. Lalu berapa persen untuk sandang dan papannya? Di solo saja kos-kosan yang bisa dipakai keluarga sudah Rp 500 ribu per bulan," urainya.

TribunSolo.com mencoba menganalogikan terkait pengeluaran buruh di Kota Solo setiap bulannya, baik untuk buruh yang masih lajang maupun buruh yang sudah berkeluarga.

Rata-rata untuk buruh yang masih lajang, biaya hidup yang harus dikeluarkan setiap bulannya mencapai Rp 1,7 juta dengan rincian biaya utilitas tempat tinggal seperti kos, listrik, dan sebagainya bisa mencapai Rp 500 ribu sampai Rp 750 ribu per bulan. Dengan catatan keperluan mendesak yang didahulukan.

Baca juga: Mahasiswa Demo di DPRD Solo Jateng, Menolak Program Tapera dan Minta RUU Perampasan Aset Disahkan

Untuk biaya makan bagi pekerja lajang bisa menghabiskan Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu per bulan. Ditambah biaya sandang seperti membeli baju ataupun mencuci pakaian bisa mencapai Rp 200 ribu per bulan.

Sementara biaya tak terduga seperti servis kendaraan yang tergantung pada pemakaian bisa memakan Rp 300-an.

Sedangkan untuk buruh swasta yang berkeluarga termasuk yang belum memiliki anak maupun yang belum, bisa lebih dari Rp 1,7 juta.

Wahyu pun menuturkan salah satu rekannya yang menjadi tulang punggung keluarga, atau bekerja sendiri dan harus menghidupi istri dan anak disebutnya sampai harus berpikir ulang hanya untuk sekadar jajan atau membeli kebutuhan pribadi.

"Paling tidak, ya mereka suami istri harus bekerja kalau melihat pendapatannya hanya segitu. Kalau cuma satu pencari upah ya sangat bermasalah. Bahkan sekadar jajan aja, berat," kata dia.

Meski dengan upah mepet tiap bulannya, Wahyu menuturkan ada juga kasus lain seperti buruh yang mendapat bantuan dari keluarga.

Maka dari itu Wahyu menjelaskan kenapa dengan UMK terbilang rendah di Kota Solo jika disandingkan dengan rata-rata biaya hidup yang tiap tahunnya semakin meningkat, para buruh masih bisa menjalaninya.

"Tapi kan ya teman-teman masih bisa hidup layak saat ini dengan upah sesuai UMK. Ya banyak teman buruh akhirnya mencari tambahan dengan cari peluang lain, atau masih ada support keluarga. Seperti saudara punya beras ya dikasih, atau orang tuanya masih punya sawah ya dikasih per bulannya. Jadi itu membantu menekan pengeluaran bulanan," jelasnya.

3. Tak Bisa Menabung
Buruh di Kota Solo masih mengalami dilema terkait wacana Tapera. Terutama dari sisi potongan upah tiap bulan.

Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Solo, Wahyu Rahadi tidak memungkiri dirinya dan kawan-kawannya yang merupakan buruh dengan upah mepet.

Hal itu tak lain karena setiap bulannya, kini buruh harus dibebani dengan potongan mencapai 4 persen dari upahnya.

Dan apabila kebijakan terkait Tapera yakni potongan upah sebesar 2,5 persen per bulan maka buruh swasta harus kehilangan 6,5 persen dari gajinya setiap bulan.

Dengan kata lain, apabila Tapera diterapkan tahun ini maka upah buruh swasta di kota Solo yang hanya sebesar Rp 2.241.000 per bulan harus berkurang sebesar Rp 143.165 atau hanya tersisa Rp 1.997.835.

Di sisi lain, padahal setiap tahunnya kenaikan upah buruh disebut Wahyu tak sampai 5 persen dari gaji mereka.

"Ya itu susahnya kita mau lihat dari mana, kalau membebani pasti dengan upah sekecil itu, kenaikan yang selalu di bawah 5 persen dan akan mengurangi daya beli teman-teman," ungkapnya.

Namun demikian, sebagai sosok yang mengemban tugas menjadi garda terdepan serikat buruh, Wahyu enggan bertumpang tangan dan bahkan menolak serta merta terkait wacana kebijakan Tapera.

Baca juga: Sisihkan 70 Persen Upah Bulanan Buat Biaya Hidup, Buruh di Solo Jateng Tak Yakin Tapera Jadi Bantuan

Ia juga mengaku telah mempelajari secara pribadi maupun berdiskusi dengan banyak pihak mengenai hal tersebut demi bisa menjelaskan secara detail kepada rekan sesama buruh terkait Tapera tersebut.

Wahyu menjelaskan bila skema Tapera nantinya bisa menjadi tabungan untuk rekan buruh agar bisa membeli hunian bagi yang masih ngontrak, hal itu cukup melegakan.

Tapi apabila tak bisa berwujud rumah, dan bisa dialihkan dalam bentuk tabungan berjangka, maka hal tersebut juga bisa menjadi secerca harapan bagi buruh.

"Tapi kalau manfaatnya menjadi tabungan nanti di usia tua kan tidak selalu membebani," lanjutnya.

Bukan tanpa alasan, secara fakta dengan upah di bawah Rp 3 juta untuk buruh di Kota Solo diakui Wahyu mustahil dirinya dan kawan-kawannya bisa menyisihkan penghasilannya untuk tabungan.

"Buruh itu gak mungkin bisa nabung. Tanggal 20 masih bisa bertahan saja sudah sangat bagus. Maksudnya itu teman-teman buruh urban yang kerja sendirian dan di Solo harus ngontrak itu luar biasa kalau tidak memiliki pekerjaan tambahan," kata dia.

Wahyu pun sampai saat ini masih menunggu kejelasan dari pemerintah maupun BP Tapera terkait skema Tapera itu sendiri dan keuntungannya bagi buruh swasta dengan upah kecil seperti yang dirasakan oleh burih swasta di Kota Bengawan.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved