Berita Solo Terbaru

Viral Warga Solo Posting Sepatu Ditukar dengan Susu Anak, Begini Kisahnya

Penulis: Muhammad Irfan Al Amin
Editor: Agil Trisetiawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota Polresta Solo saat memberikan bantuan kepada keluarga Ari Parasetyo, yang viral usai posting sepatu barter susu

Laporan Wartawan Tribunsolo.com, Muhammad Irfan Al Amin

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Tak ada yang menyangka bahwa unggahan Ari Parasetyo (38) yang menawarkan sepatu boot untuk ditukar dengan susu kemasan 1 kilogram menjadi viral.

Tawaran itu diunggah Ari pada Grup Facebook @infocegatansolo, dan menuai respon langsung dari orang nomor satu di Polresta Solo.

Sang istri, Anik (41), mengisahkan bahwa suaminya terpaksa membuat status di Facebook karena benar-benar dalam keadaan terdesak.

"Kami memang terdesak dan tidak ada maksud buat cari ketenaran apalagi biar viral," katanya pada Minggu (1/8/2021).

Baca juga: Cara Terhindar dari Pungli Pemakaman, Begini Saran Pemkot Solo

Baca juga: Pelatih asal Solo Sukses Bawa Pebulutangkis Guatemala ke semifinal Olimpiade, Begini Awal Karirnya

Baca juga: Kapan Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi CPNS Solo 2021? Simak Update Terbaru

Bahkan dirinya terkejut saat utusan dari Polsek Laweyan dan Polresta datang menghantarkan susu dan sembako.

"Kami sekeluarga terkejut, karena nggak ada kabar tiba-tiba langsung dikunjungi polisi," ujarnya.

"Anak saya sempat menangis terkejut lihat polisi berseragam datang ke rumah," ungkapnya.

Anik mengungkapkan bahwa suaminya bekerja di sebuah perusahaan outsourcing dan memiliki penghasilan pas-pasan.

Oleh karenanya saat di masa PPKM dan kebutuhan semakin mendesak, sang suami memiliki ide untuk menawarkan sepatu tersebut ke netizen.

"Hanya demi susu bubuk saja untuk anak saya yang berumur 2 tahun," terangnya.

Dirinya yang tinggal di Kampung Mutihan, Kelurahan Sondakan, Laweyan tersebut hanya bisa berterima kasih atas atensi masyarakat dan juga pihak kepolisian atas bantuan yang diterima.

"Kami hanya berterimakasih dan juga dipesani supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak kedepannya," ujarnya.

Jual Soundsystem

Riyanto (60) warga Dukuh Waru, Desa Pojok, Kecamatan Nogosari, Boyolali menjual peket soundsystemnya.

Dia tak menyangka, akan menjual satu-satunya alat yang selama ini menjadi mata pencahariannya.

Ya, Riyanto selama ini bekerja sebagai pengusaha soundsystem, yang disewakan pada acara-acara tertentu.

Namun karena pandemi covid-19, dan adanya aturan pembatasan kegiatan, diapun langsung merasakan dampaknya.

Saat dijumpai TribunSolo.com, dia menjual seluruh alat soundsystemnya di jalan Solo-Semarang, Jumat (30/7/2021).

Baca juga: Panik Kepergok Warga, Pencuri Ayam di Boyolali Ini Kabur Tinggalkan Sepeda Motornya

Baca juga: Dana Insentif Rp 12 Miliar Sudah Cair, Ini Besaran yang Akan Diterima Tenaga Kesehatan di Boyolali

Baca juga: Saudaranya Tengah Dimakamkan dengan Prokes, Pria di Boyolali Ini Malah Gasak HP Petugas Pemakaman

Baca juga: Dinas Kesehatan Boyolali Sebut Stok Vaksin Covid-19 Menipis, Khawatir Tak Cukup untuk Tahap II

Paket soundsystemnya diletakan pada sebuah mobil pickup, yang diparkir di pinggir jalan.

Untuk menarik perhatian, dia juga memasang papan tulis yang berisikan kalimat yang menyayat.

"2 TH Ora Tanggapan, Jual 1 Sound untuk Angsuran BRI karo go Tuku Beras". (Dua tahun tidak ada penyewa, dijual 1 sound untuk angsuran BRI dan beli beras).

Dia mengaku terpaksa menjual sumber penghasilannya selama ini untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Sama untuk membayar angsuran BRI yang mencapai Rp 3,5 juta perbulan," katanya, Kepada TribunSolo.com.

Sebab, dia yang tidak mempunyai sumber penghasilan lain, sejak pandemi Covid-19 sudah tidak punya lagi penghasilan tetap.

Tidak ada hajatan masyarakat dan pengeluaran event yang membutuhkan soundsystemnya.

Padahal, sebelum pandemi Covid-19 ini, paling tidak dia bisa mendapat penghasilan kotor antara Rp 20-26 juta.

"pengusaha soundsystem benar-benar mati saat ini," pungkasnya.

Saat ditanya berapakah paket soundsystemnya akan dijual, Riyanto belum memberikan jawaban pasti.

Sebab, dia akan melakukan tawar-menawar dengan calon pembelinya terlebih dahulu.

Namun, ia mengatakan jika paket soundsystem miliknya itu dia beli seharga Rp250 jutaan.

Dalang di Boyolali Hancurkan Gong dan Gamelan

Ada saja aksi protes untuk mengungkapkan kegelisahan saat Pandemi Corona melanda.

Seperti yang dilakukan dalang di Boyolali ini.

Dia melakukan aksi merusak gamelan dan gong miliknya.

Berikut TribunSolo.com rangkum fakta dari dalang mengamuk:

1. Viral di Media Sosial

Video dalang "mengamuk" ini viral di Jagad maya.

Dia menghancurkan alat-alat pentas wayang pakai palu besar.

Aksi yang terekam dalam video berurasi 13 detik menggambarkan detik-detik pria tersebut secara membabi buta menghancurkan alat-alanya di depan rumah.

Sembari mengayunkan palu berukuran sekitar satu meteran itu, dia sembari mengumbarkan kekesalannya karena pandemi.

"Setahun wis ora olih pentas, gamelan didol ora payu, didol rosok wae, sopo seng arep tuku..sopo seng arep tuku (setahun tidak bisa pentas, gamelan dijual tidak laku, dijual rosok saja)," katanya sembari meluapkan kekesalannya.

Ki Dalang Gondho Wartoyo menghancurkan alat pentas untuk pewayangan di depan rumahnya di Dukuh Bulu RT 004 RW 003, Desa Tegalgiri, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Penampakan alat-alat yang rusak dan berantakan, Sabtu (3/4/2021). (TribunSolo.com/Azhfar Muhammad)

Baca juga: Kagetnya Mertua di Ceper Klaten, Kini Belum Ada Kabar Lanjutan Pasca Menantunya Ditangkap Densus 88

Baca juga: Manfaat Peluang Ditengah Pandemi Covid-19, Penjual Jamu di Karanganyar Ini Raup Keuntungan Berlipat

2. Bentuk Protes

Usut punya usut, dia adalah pelaku seni pewayangan Ki Dalang Gondho Wartoyo.

Pria 40 tahun warga Dukuh Bulu RT 004 RW 003, Desa Tegalgiri, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali.

Lantas kenapa Dalang Wartoyo melakukan itu?

Ya, Wartoyo sudah puluhan tahun di dunia pewayangan itu mengaku sengaja menghancurkan alat-alatnya karena protes kepada pemerintah. 

Mengingat selama setahun terdampak pandemi Covid-19, tetapi tak ada penyelesaian.

3. Frustrasi Tidak Pentas Satu Tahun

"Izin pentas sudah satu tahun tidak ada," ungkapnya kepada TribunSolo.com, Sabtu (3/4/2021).

Bahkan secara blak-blakan dirinya mengungguh video singkat di media sosial pribadinya.

"Sengaja saya lakukan agar bisa didengar oleh pemerintah, dengan menghancurkan gamelan dan beberapa alat pertunjukan," ujarnya.

Ki Wartoyo menceritakan betapa terpuruknya pelaku seni di masa pandemi, karena sama sekali tidak mendapatkan penghidupan akibat tak ada pentas.

“Ya pokonya gara-gara pandemi saya bersama pelaku seni lain merasa frustasi, tidak bisa menampilkan pertunjukan seni, wayangan, dan aktifitas seni lain,” ujarnya.

“Maka dari pada itu saya melakukan protes namun tidak anarkis, hanya dengan memukul gong dan gamelan,” paparnya.

Dikatakan, bukan karena gamelannya sudah tidak bagus lagi atau karena gamelannya sudah tidak berfungsi, tapi karena kini gamelan yang ia miliki seakan sudah tidak ada gunanya.

"Ya intinya itu, sudah tak ada gunanya," jelas dia.

Baca juga: Identitas 3 Orang Warga Klaten yang Diamankan Densus 88: Perantauan, Petani, dan Penjual Motor Seken

Baca juga: Sebelum Membunuh Dalang Anom Subekti, Pelaku Sempat Disuguhi Kopi Oleh Korban

4. Menjual Mobil untuk Makan

Saking remuknya karena pandemi, Dalang Wartoyo pun mengaku sampai menjual mobil untuk kebutuhan sehari-hari.

“Saya rela dan terpaksa menjual mobil untuk beli sembako dan kebutuhan rumah tangga, intinya apa yang kita punya kita jual untuk bertahan hidup,” ujarnya.

“Macam-macan mobil saya jual sampai 4, mulai dari mobil CRV, Honda New City, Feroza dan Picanto,” ungkapnya.

Selain itu, dirinya bahkan rela menggadaikan truk pribadinya untuk kebutuhan lain di pengusaha telur di Boyolali.

5. Sebelum Pandemi Corona, Bisa 28 Kali Pentas Sebulan

Hal itu terdesak dilakukan, karena sebelum pandemi, sebagai dalang dia bisa melakukan pementasan sebanyak 15 hingga 28 kali dalam satu bulan.

Namun kondisi berubah 360 derajat sehingga mencekik kehidupan para pelaku seni.

"Kalau sebelum pandemi saya bisa pentas 15 sampai 28 kali sebulan, tapi setahun ini tak ada,” ungkapnya.

Kondisi diperburuk dengan tidak adanya izin, sehingga para seniman tidak bisa menggelar lagi pertunjukan yang bisa mencukupi kehidupan sehari-hari.

"Sejak pandemi sampai sekarang tidak bisa pentas. Padahal untuk beralih profesi, kita tidak mudah,” terang dia. (*)

Berita Terkini