Raja Keraton Solo Meninggal Dunia
Sosok Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, Raja Keraton Solo yang Tutup Usia : Pernah Bekerja Kantoran
Sri Susuhunan Pakubuwono XIII merupakan putra tertua dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII dengan permaisuri KRAy. Pradapaningrum.
Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Ringkasan Berita:
- Sri Susuhunan Pakubuwono XIII wafat pada Minggu (2/11/2025) di RS Indriati, Sukoharjo. Raja Keraton Surakarta ini meninggal di usia 77 tahun setelah dirawat akibat komplikasi ginjal.
- Dikenal bijaksana dan rendah hati, beliau memimpin keraton sejak 2012 usai rekonsiliasi dengan adiknya, Tedjowulan.
- Jenazahnya disemayamkan di Keraton dan dimakamkan secara adat. Sosoknya dikenang sebagai penjaga tradisi dan pelestari budaya Jawa.
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Kabar duka menyelimuti Keraton Kasunanan Surakarta.
Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, raja yang memimpin Keraton Kasunanan Surakarta selama lebih dari dua dekade, wafat pada Minggu (2/11/2025) di Rumah Sakit Indriati, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Informasi tersebut dikonfirmasi langsung oleh KPH Eddy Wirabhumi, salah satu kerabat dekat keraton.
Baca juga: Keraton Solo Tutup Pasca sang Raja Pakubuwono XIII Wafat, Wisatawan Gagal Masuk Kori Kamandungan
“Hari ini kita berduka, tadi pagi beliau nggak ada di Rumah Sakit Indriyanti,” ujar Eddy kepada media.
Jenazah almarhum kini tengah dipersiapkan untuk dibawa kembali ke Keraton Surakarta guna disemayamkan dan dimakamkan dengan tata upacara adat Kasunanan.
“Sekarang sedang dipersiapkan untuk proses mengundurkan (membawa pulang) beliau ke Keraton,” ucapnya kepada TribunSolo.com.
Perjalanan Hidup Sang Raja
Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, yang memiliki nama lengkap Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Hangabehi atau KGPH Hangabehi, lahir di Surakarta pada 28 Juni 1948 dengan nama kecil Gusti Raden Mas (GRM) Suryadi.
Ia merupakan putra tertua dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII dengan permaisuri KRAy. Pradapaningrum.
Baca juga: Alasan Digantinya Hari Pemakaman Raja Keraton Solo dari Selasa Menjadi Rabu : Ora Ilok
Di masa kecilnya, GRM Suryadi dikenal sering sakit-sakitan.
Sang nenek, Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwono, kemudian mengganti namanya menjadi GRM Suryo Partono sebagai bentuk ikhtiar spiritual agar sang cucu mendapat keselamatan dan kesehatan.
Tradisi pergantian nama karena alasan spiritual seperti ini lazim dalam budaya Jawa.
Pada tahun 1979, melalui keputusan adat (paugeran), GRM Suryo Partono ditetapkan sebagai putra mahkota dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Hangabehi, yang berarti ia menjadi calon penerus sah takhta Kasunanan Surakarta.
Kiprah Sebelum Menjadi Raja
Sebelum naik takhta, Hangabehi dikenal aktif di berbagai bidang. Ia pernah menjabat sebagai Pangageng Museum Keraton Surakarta serta menempati sejumlah posisi penting di lingkungan keraton.
Pada tahun 1985, saat kebakaran besar melanda Keraton Surakarta, Hangabehi turut memimpin penanganan krisis tersebut dan berhasil menyelamatkan banyak pusaka berharga.
Atas jasanya, ayahandanya, Pakubuwono XII, menganugerahkan kepadanya Bintang Sri Kabadya I, penghargaan tertinggi yang hanya diterima olehnya di antara seluruh putra raja.
Selain aktif di lingkungan keraton, Hangabehi juga sempat bekerja di Caltex Pacific Indonesia, Riau, sebelum kemudian menetap di Jakarta.
Ia dikenal memiliki hobi di bidang musik dan teknologi, bahkan pernah aktif di Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI).
Baca juga: Alasan Digantinya Hari Pemakaman Raja Keraton Solo dari Selasa Menjadi Rabu : Ora Ilok
Atas kontribusinya dalam pelestarian budaya, ia juga menerima gelar Doktor Kehormatan dari Global University (GULL), Amerika Serikat.
Naik Takhta dan Konflik Dualisme Raja Kembar
Setelah wafatnya Pakubuwono XII pada 11 Juni 2004, Kasunanan Surakarta sempat dilanda perpecahan internal.
Dua putra mendiang raja, KGPH Hangabehi dan KGPH Tejowulan, sama-sama mengklaim sebagai penerus sah takhta.
Kubu Hangabehi menobatkannya sebagai Pakubuwono XIII di Keraton Surakarta pada 10 September 2004, sementara kubu Tejowulan melakukan penobatan tandingan di Sasana Purnama, Kottabarat, Surakarta.
Pertentangan itu berlangsung hingga delapan tahun dan dikenal sebagai konflik “Raja Kembar”.
Namun, situasi akhirnya mereda pada 2012, setelah kedua pihak mencapai rekonsiliasi damai yang difasilitasi oleh Wali Kota Solo kala itu, Joko Widodo, bersama DPR RI dan pemerintah pusat.
Dalam kesepakatan tersebut, Tejowulan mengakui Hangabehi sebagai satu-satunya Pakubuwono XIII, dan ia sendiri diberi gelar KGPHA Panembahan Agung serta menjabat sebagai mahamenteri keraton.
Masa Pemerintahan dan Kiprah Kebudayaan
Sebagai raja, Pakubuwono XIII dikenal sebagai sosok yang tegas namun rendah hati, dengan perhatian besar terhadap pelestarian budaya Jawa, khususnya gaya Surakarta. Ia aktif memimpin berbagai upacara adat penting seperti Grebeg, Sekaten, Labuhan, Kirab Malam 1 Sura, hingga Tingalan Dalem Jumenengan.
Di bawah kepemimpinannya, Keraton Surakarta juga memperkuat hubungan dengan berbagai kerajaan dan lembaga budaya di Nusantara.
Ia beberapa kali menghadiri forum kebudayaan bersama Sultan Hamengkubuwana X dan Adipati Pakualam X, termasuk pengukuhan Mangkunegara X pada 2022.
Pakubuwono XIII turut berperan dalam sejumlah kegiatan sosial, termasuk program vaksinasi Covid-19 tahun 2021, di mana Keraton Surakarta menyalurkan 20.000 dosis vaksin gratis untuk warga Ponorogo dan Pacitan.
Ia juga tercatat pernah memberikan gelar kebangsawanan kepada sejumlah tokoh nasional, termasuk Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka pada September 2021, sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi terhadap masyarakat dan budaya Jawa.
Pada 2018, namanya kembali dikenal luas setelah menerima penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) atas rekor pergelaran wayang kulit dengan kelir terpanjang di dunia, yang ia prakarsai bersama seniman dan budayawan lokal.
Menetapkan Putra Mahkota
Pada 27 Februari 2022, dalam upacara Tingalan Dalem Jumenengan ke-18, Pakubuwono XIII resmi mengangkat putranya, KGPH Purubaya, sebagai putra mahkota Kasunanan Surakarta dengan gelar KGPAA Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram.
Pengukuhan ini disaksikan oleh para kerabat, abdi dalem, serta tokoh nasional seperti La Nyalla Mattalitti dan Wiranto.
Kondisi kesehatan Pakubuwono XIII menurun sejak mengikuti prosesi adat Adang Tahun Dal pada September 2025.
Meski dalam keadaan lemah, beliau tetap memaksakan diri untuk menjalankan tugas adat.
Menurut adiknya, GKR Wandansari Koes Moertiyah (Gusti Moeng), sang raja menderita komplikasi ginjal dan sempat menjalani cuci darah sebelum akhirnya berpulang.
“Sinuhun sebetulnya sakit banget tapi dipaksa harus tindak ke pawon. Menjalankan tugasnya untuk kembul bujono dengan abdi dalem. Terlalu diforsir,” ungkap Gusti Moeng.
Beliau dirawat intensif selama sebulan di Rumah Sakit Indriati, Solo Baru, sebelum menghembuskan napas terakhir pada usia 77 tahun.
Kepergian Sri Susuhunan Pakubuwono XIII meninggalkan duka mendalam bagi keluarga besar Keraton Surakarta dan masyarakat luas.
(*)
| Keraton Solo Tutup Pasca sang Raja Pakubuwono XIII Wafat, Wisatawan Gagal Masuk Kori Kamandungan |
|
|---|
| Jawaban Adik Raja Solo Soal Penerus Takhta: Nanti Lihat Hari Rabu |
|
|---|
| Alasan Digantinya Hari Pemakaman Raja Keraton Solo dari Selasa Menjadi Rabu : Ora Ilok |
|
|---|
| Kondisi Ginjal Memburuk, Raja Keraton Solo Pakubuwono XIII Sempat Jalani Cuci Darah Sebelum Wafat |
|
|---|
| Cerita Adik Raja Keraton Solo, GKR Wandansari Mengaku Tak Diizinkan Menjenguk Kakaknya Sebelum Wafat |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/solo/foto/bank/originals/Raja-Keraton-Kasunanan-Surakarta-Sinuhun-Pakubuwono-XIII-meninggal-dunia.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.