Fakta Menarik Tentang Solo

Sejarah Busana Pengantin Dodotan Solo Basahan yang Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Takbenda

Busana ini kemudian juga diadopsi oleh Pura Mangkunegaran, memperluas penggunaannya di kalangan bangsawan Solo.

Penulis: Tribun Network | Editor: Rifatun Nadhiroh
YouTube Presiden Jokowi
MOMEN UNDUH MANTU KAESANG & ERINA - Erina Gudono pakai baju adat solo basahan di acara ngunduh mantu. Acara ngunduh mantu untuk pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono digelar pada Minggu, 11 Desember 2022, di Loji Gandrung, Surakarta, Jawa Tengah. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan pernikahan yang diadakan setelah akad nikah yang berlangsung pada 10 Desember 2022. 

Ringkasan Berita:
  • Busana Dodotan Solo Basahan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2025 oleh Kementerian Kebudayaan, menegaskan nilai sejarah dan filosofi Keraton Surakarta.
  • Diciptakan PB II, busana ini dulu hanya untuk putri raja dan baru boleh dipakai masyarakat sejak 1980-an atas izin PB XII.
  • Bermakna kesucian dan keharmonisan hidup, busana ini kembali populer usai dikenakan Kaesang dan Erina pada 2022.

 

TRIBUNSOLO.COM - Sejarah dan Filosofi Busana Dodotan Solo Basahan, Warisan Budaya Takbenda Indonesia

Busana Dodotan Solo Basahan merupakan salah satu warisan budaya luhur dari Keraton Surakarta Hadiningrat yang hingga kini tetap menjadi simbol keanggunan dan kesakralan pernikahan adat Jawa.

Pada tahun 2025, busana pengantin ini secara resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) oleh Kementerian Kebudayaan, menegaskan nilai historis dan filosofi mendalam yang dikandungnya.

Asal-usul dan Sejarah

Busana Basahan diciptakan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono II di Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai pengganti busana Paes Ageng dari Keraton Yogyakarta.

Baca juga: Mengenal Sejarah dan Fungsi Samir, Selempang yang Wajib Dikenakan Pengunjung Saat Masuk Keraton Solo

Tujuannya adalah untuk menghadirkan identitas budaya tersendiri yang membedakan gaya Surakarta dari Yogyakarta.

Awalnya, busana ini hanya boleh dikenakan oleh putri raja saat menikah di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Namun, sejak 1980-an, masyarakat umum baru diperbolehkan mengenakannya setelah mendapat restu dari Pakubuwono XII, dengan syarat bentuk dan pakemnya tetap dijaga keasliannya.

Busana ini kemudian juga diadopsi oleh Pura Mangkunegaran, memperluas penggunaannya di kalangan bangsawan Solo.

Hingga kini, Dodotan Solo Basahan tetap dianggap busana yang sakral dan penuh makna, sebagaimana diungkapkan oleh Kerabat Keraton Solo, RM Restu Budi Setiawan, yang menekankan pentingnya menjaga keutuhan bentuk, terutama pada dodot, motif, gelung, dan paes.


Nama “Basahan” berasal dari kata basah, menggambarkan bahwa pengantin tidak mengenakan atasan, sehingga tubuh bagian atas dibiarkan terbuka dan hanya dihiasi riasan serta perhiasan khas.

Baca juga: Sri Sultan HB X Akui Tak Terlalu Akrab dengan PB XIII, tapi Hubungan Keraton Jogja-Solo Tetap Hangat

Hal ini melambangkan kejujuran, kesucian, dan keterbukaan hati antara kedua mempelai dalam mengarungi kehidupan baru.

Sementara itu, “Dodotan” merujuk pada kain batik lebar yang menjadi busana utama. Kain ini dihiasi prada emas di pinggirannya dan bermotif hijau “alas-alasan”, melambangkan jaminan rezeki dan hubungan harmonis dengan alam semesta.

Di bagian tengah kain terdapat blumbangan putih, yang menggambarkan air sebagai sumber kehidupan. Warna Gadhung Melathi yang digunakan pada busana ini melambangkan penghidupan dan kesuburan.

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved