Fakta Menarik Tentang Solo

Mitos Sasana Sewaka, Titik Sakral Keraton Solo yang jadi Tempat Sinuhun Semedi

Bangunan ini menjadi panggung sakral di mana Sri Susuhunan diyakini berkomunikasi secara kosmik dengan kekuatan tertinggi.

Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Tribunsolo.com
TEMPAT SAKRAL KERATON - Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Pakubuwono (PB) XIII Hangabehi duduk di Dampar Kencana, Sasana Sewaka saat mulai Tingalan Dalem Jumenengan Ke-15, Senin (1/4/2019). Inilah kisah tentang Sasana Sewaka yang dianggap tempat sakral di Keraton Solo. 
Ringkasan Berita:
  • Sasana Sewaka di Keraton Kasunanan Surakarta merupakan pendapa sakral tempat raja melaksanakan ritual Lenggah Sinewaka untuk memohon kesejahteraan rakyat dan menjaga harmoni kosmos.
  • Bangunan berbentuk Joglo Pangrawit ini memadukan arsitektur Jawa dengan sentuhan Eropa, mencerminkan akulturasi budaya tanpa kehilangan nilai kejawen.
  • Secara filosofis, Sasana Sewaka melambangkan kepemimpinan Dewa Raja, keseimbangan spiritual, dan kebesaran budaya Jawa.

 

TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo tidak sekadar menjadi pusat pemerintahan dan budaya Jawa, tetapi juga mempertahankan nilai kepercayaan Jawa kuno.

Di dalam kompleks megah ini berdiri berbagai bangunan tradisional seperti Joglo, Limasan, dan Kampung, yang tersusun mengikuti tata ruang simbolik.

Namun, di antara seluruh bangunan itu, terdapat satu yang memiliki fungsi spiritual tertinggi bagi seorang raja Jawa, yaitu Sasana Sewaka.

Baca juga: Sejarah Kori Kamandungan : Gerbang Sakral Menuju Keraton Solo yang Dibangun 9 Raja

Makna dan Fungsi Sakral Sasana Sewaka

Sasana Sewaka bukan sekadar pendapa penerima tamu kerajaan.

Bangunan ini menjadi panggung sakral di mana Sri Susuhunan diyakini berkomunikasi secara kosmik dengan kekuatan tertinggi.

Bagi masyarakat Jawa, rumah atau bangunan mencerminkan status sosial dan spiritual penghuninya.

Karena itu, Sasana Sewaka dengan bentuk arsitektur Joglo Pangrawit melambangkan status spiritual tertinggi raja sebagai pemimpin yang menjadi penghubung antara manusia dan alam adikodrati.

Sasana Sewaka didirikan pada tahun Jawa 1697 oleh Sri Susuhunan Paku Buwono III, salah satu raja yang dikenal banyak membangun bagian penting dari Keraton Surakarta.

Arsitektur Joglo Pangrawit yang digunakan memiliki struktur tumpang lima dengan saka guru sebagai tiang penyangga utama.

Ciri khas lainnya adalah adanya saka bentung pada emper (serambi) yang membuat konstruksi ini disebut juga Lambang Gantung, simbol keseimbangan antara langit dan bumi.

Baca juga: Momen Prosesi Pemakaman Raja Solo PB XIII di Imogiri : Lewati Ratusan Anak Tangga, Disambut Gerimis

Arsitektur Joglo Pangrawit dan Falsafahnya

Joglo Pangrawit bukan hanya karya arsitektur, tetapi juga lambang filosofi hidup Jawa.

Bagian atap yang bertumpuk lima melambangkan hirarki spiritual manusia dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Tiang utama atau saka guru menjadi simbol empat arah mata angin yang menopang dunia, dengan makna bahwa seorang pemimpin harus menjaga keseimbangan di segala arah kehidupan rakyatnya.

Menurut arsitek kolonial Belanda Ir. Th. Karsten, pendapa seperti ini di masa lalu juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan seni atau teater terbuka, mirip dengan toneel pada zaman Yunani dan Romawi.

Baca juga: Payung Jenazah Raja Solo PB XIII Tersangkut di Tangga Imogiri, Prosesi Pemakaman Tetap Khidmat

Namun, berbeda dengan itu, Sasana Sewaka memiliki fungsi lebih sakral, karena menjadi tempat upacara spiritual raja, bukan hiburan duniawi.

Ritual Lenggah Sinewaka: Raja dan Kosmos

Fungsi utama Sasana Sewaka adalah untuk upacara Lenggah Sinewaka, yang diadakan pada hari Senin dan Kamis, atau pada peristiwa penting kerajaan.

Dalam ritual ini, raja duduk di atas Dampar Kencana (singgasana emas) dan melakukan samadi (hening cipta) bersama para pejabat yang menghadap.

Tujuan ritual ini adalah untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman bagi seluruh rakyat serta alam semesta.

Konsep ini sejalan dengan falsafah “Berbudhi bawa leksana”, yaitu bahwa seorang pemimpin sejati harus berbudi luhur, tidak egois, dan mampu menempatkan kepentingan rakyat di atas dirinya sendiri.

Ritual ini juga menggambarkan gagasan “Dewa Raja” dalam kosmologi Jawa, yakni raja sebagai wakil Tuhan di dunia yang memelihara harmoni kosmik.

Paham Dewa Raja dan Hubungan Spiritual dengan Alam Gaib

Dalam tradisi mistik Jawa, raja tidak hanya pemimpin politik, melainkan juga penguasa spiritual yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan antara dunia lahir dan batin.

Oleh sebab itu, setiap tindakan raja, termasuk ritual di Sasana Sewaka, diyakini mempengaruhi keselamatan kerajaan dan rakyatnya.

Salah satu bentuk hubungan spiritual yang paling terkenal adalah mitos Ratu Kidul (Nyai Rara Kidul), penguasa Laut Selatan.

Kepercayaan ini begitu kuat sehingga orientasi bangunan keraton pun diarahkan ke selatan, simbol hubungan antara raja dengan kekuatan laut yang melambangkan energi alam.

Di Keraton Surakarta, hubungan ini tercermin pula dalam Panggung Sanggabuwana, sebuah menara sakral tempat raja bermeditasi dan bersembahyang.

Sasana Sewaka menjadi bagian dari sistem kepercayaan ini, sebagai titik di mana Raja “lenggah” (bersemayam) untuk menyatukan diri dengan semesta.

Baca juga: Mengenal Gerbang Kori Kamandungan Kidul, Jalur Terakhir Raja Keraton Solo saat Mangkat

Akulturasi Arsitektur Jawa dan Eropa

Selain aspek spiritual, Sasana Sewaka juga mencerminkan proses akulturasi budaya antara Jawa dan Eropa yang berkembang pada masa kolonial.

Pengaruh Eropa tampak dari penggunaan lantai semen atau marmer untuk menopang struktur tiang dan atap, sesuatu yang sebelumnya tidak lazim dalam rumah tradisional Jawa yang biasanya berlantai tanah.

Dalam simbolisme Jawa, lantai ini bermakna akar kokoh yang menopang pertumbuhan dan kesejahteraan kehidupan.

Di sisi lain, ornamen dan perabotan di sekitar Sasana Sewaka juga memperlihatkan sentuhan Eropa.

Patung bergaya klasik, lampu gantung kristal, serta perabotan mewah banyak ditemukan di area keraton.

Beberapa di antaranya merupakan hadiah dari raja-raja Eropa, termasuk Ratu Belanda.

Namun demikian, seluruh elemen tersebut tidak menghapus nilai-nilai kejawen yang mendasari arsitektur keraton, justru memperkaya makna estetika dan menunjukkan kesetaraan budaya antara Jawa dan Eropa.

Simbolisme Warna dan Ornamen

Warna-warna yang digunakan dalam bangunan Sasana Sewaka, seperti coklat tanah, hijau toska, dan emas, memiliki makna filosofis yang dalam.

Warna coklat melambangkan unsur bumi dan kerendahan hati, hijau toska menggambarkan keseimbangan dan ketenangan, sedangkan warna emas melambangkan kemuliaan spiritual.

Ornamen kayu, ukiran bunga, dan pola geometris khas Jawa berfungsi bukan hanya sebagai hiasan, tetapi juga sebagai doa visual yang mengandung makna spiritual.

Dengan fungsi dan arsitektur yang sarat makna, Sasana Sewaka menjadi simbol idealisme kepemimpinan Jawa kuno.

Seorang raja tidak hanya dituntut untuk memerintah, tetapi juga menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kebijaksanaan, dunia material dan spiritual.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved