Sejarah di Kota Solo
Serupa Tapi Tak Sama, Ini Perbedaan Wayang Solo dan Wayang Jogja, Bisa Dilihat Secara Kasat Mata
Wayang kulit merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang paling ikonik dan melambangkan kebijaksanaan serta filosofi kehidupan Jawa.
Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Wayang Jogja: kumis kadang diwarnai merah, dan jenggot bisa menjangkau hingga pangkal telinga, menekankan ekspresi wajah yang lebih dramatis atau simbolik.
Hiasan lain seperti aksesori hias pada bokongan (pakaian bagian bawah) juga berbeda:
- Tokoh dalam gaya Solo, seperti raja atau Pandawa, sering memakai bunga menjuntai di ikat pinggang keris.
- Dalam gaya Jogja, hiasan semacam ini jarang atau tidak digunakan.
- Aksesori punggung (“praba”) juga berbeda: pada gagrak Solo, tokoh seperti Antareja atau Gandamana mungkin tidak memakai praba, sedangkan di Jogja praba sering digunakan. Sebaliknya, tokoh seperti Jayadrata memakai praba di Solo tetapi mungkin tidak di Jogja.
Detail-detail ini menunjukkan bahwa pahat kulit wayang bukan sekadar artistik, tetapi sarat simbolisme sosial, kasta, dan karakter tokoh.
Baca juga: Alasan Gibran Tak Pakai Beskap saat Hadiri Akad Nikah Idayati-Anwar Usman: Biar Gak Ribet
4. Keprak / Kecrek (Alat Bunyi)
Keprak adalah komponen penting dalam pentas wayang: lempengan logam yang digantungkan di sisi kotak dalang, lalu dipukul oleh cempala (alat pemukul) untuk menghasilkan bunyi pengiring gerakan wayang.
Gaya Solo: menggunakan 4–6 lempeng logam (besi) tanpa kayu, dipukul oleh cempala logam yang dijepit di kaki dalang, menghasilkan suara “crek crek crek”.
Gaya Jogja: hanya memakai satu lempeng kayu tebal dan satu lempeng logam, dengan cempala logam juga; bunyinya lebih halus dan ritmis, “ting ting ting”.
Bunyi keprak sangat menentukan irama pementasan, mengiringi gerakan wayang seperti berjalan, menari, atau bertarung.
Perbedaan struktur keprak ini menghasilkan warna musikal yang berbeda dalam pagelaran antara gaya Solo dan Jogja.
5. Komposisi Pakeliran (Gaya Pementasan)
Cara memainkan wayang atau "pakeliran" sangat dipengaruhi oleh gagrak:
- Gagrak Solo lebih menitikberatkan pada sabetan (ekspresi gerak wayang) dibanding dialog.
Adegan perang biasanya diperpanjang dan dimainkan secara ekspresif.
Karena tubuh wayang Solo yang lebih proporsional, sabetan bisa lebih beragam dan dramatis, tetapi dialog dalang relatif dipersingkat.
- Gagrak Jogja lebih menonjolkan storytelling: dialog dan narasi memainkan peran besar.
Adegan perang mungkin singkat, tapi diikuti oleh diskusi mendalam antar tokoh.
Narasi ini memberikan penonton pemahaman cerita yang lebih utuh, terutama bagi yang menonton secara audio seperti radio.
| Asal-usul Ponten Ngebrusan Solo: Jejak Arsitektur Kolonial dan Revolusi Hidup Sehat di Kota Bengawan |
|
|---|
| Asal-usul Kelurahan Semanggi Solo: Nama Diambil dari Tumbuhan Rawa, Ada Jejak Dermaga yang Hilang |
|
|---|
| Asal-usul Kelurahan Gajahan di Solo : Dulu Tempat Kandang Gajah Milik Keraton Era Pakubuwono II |
|
|---|
| Asal-usul Pasar Harjodaksino Solo: Nama Diambil dari Tokoh Lokal, tapi Lebih Dikenal Pasar Gemblegan |
|
|---|
| Kenapa Soto jadi Menu Favorit Sarapan Warga Solo Raya? Begini Sejarahnya, Bermula dari Abad ke-19 |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/solo/foto/bank/originals/traditional-art-performance_20170101_221434.jpg)