Sejarah di Kota Solo
Serupa Tapi Tak Sama, Ini Perbedaan Wayang Solo dan Wayang Jogja, Bisa Dilihat Secara Kasat Mata
Wayang kulit merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang paling ikonik dan melambangkan kebijaksanaan serta filosofi kehidupan Jawa.
Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Perbedaan ini mencerminkan filosofi berbeda: Solo mengeksplorasi gerak fisik dan seni dramatik; Jogja mengutamakan cerita, moralitas, dan pengertian filosofis.
6. Penokohan Tokoh Wayang
Tokoh-tokoh penting dalam kisah Mahabharata dan Ramayana juga dibedakan secara berbeda antara dua gagrak:
Antasena / Antareja:
Gaya Solo: tidak dikenal tokoh bernama Antasena; yang ada justru Antareja, putra Bima dan Dewi Nagagini.
Gaya Jogja: dikenal tokoh Raden Antasena, anak Bima dan Dewi Urang Ayu.
Tokoh lain:
- Dalam gagrak Solo, tokoh seperti Durna digambarkan berhati baik, sementara Sengkuni memiliki watak jahat.
- Sebaliknya, dalam gagrak Jogja, Durna bisa digambarkan sebagai tokoh kelam, sementara Sengkuni kadang memiliki karakter yang lebih kompleks.
Penokohan ini tidak hanya kenyataan dramaturgis, tetapi juga merefleksikan pandangan moral dan sosial pemeran dalam mitologi Jawa.
7. Adegan Tambahan: Gara-Gara & Limbukan
Dua elemen pentas wayang yang juga berbeda antara gagrak:
Gara-gara (adegan punakawan):
Pada gagrak Jogja, hadir di hampir semua pagelaran.
Dalam gagrak Solo, tidak selalu muncul.
Limbukan (adegan khas yang menampilkan Cangik dan Limbuk):
Selalu ada dalam pagelaran Solo modern.
Dahulu di Jogja tidak selalu dipentaskan, meskipun kini sudah banyak digunakan kembali.
Kehadiran atau ketiadaan elemen-elemen ini turut memperkaya variasi pertunjukan wayang dan menambah warna lokal dari setiap gagrak.
Makna Filosofis dan Budaya di Balik Perbedaan
Perbedaan gaya antara wayang Solo dan Jogja mencerminkan warisan budaya keraton yang berbeda:
- Keraton Solo mungkin lebih menekankan ekspresi fisik dan estetika yang halus, yang tercermin dalam postur wayang yang lebih ramping dan gerakan yang diarahkan.
- Keraton Jogja lebih menekankan narasi, cerita moral, dan dialog filosofis, yang terlihat dari cara pentas dan penggambaran tokoh.
Kedua gaya bukan hanya soal estetika visual, tetapi mencerminkan pandangan nilai budaya, kekuasaan, dan identitas sosial yang unik dari setiap daerah Jawa.
Bagi para pecinta wayang dan budayawan, memahami perbedaan ini berarti menghargai keragaman dan kedalaman budaya Jawa yang sudah teruji oleh waktu.
(*)
| Asal-usul Ponten Ngebrusan Solo: Jejak Arsitektur Kolonial dan Revolusi Hidup Sehat di Kota Bengawan |
|
|---|
| Asal-usul Kelurahan Semanggi Solo: Nama Diambil dari Tumbuhan Rawa, Ada Jejak Dermaga yang Hilang |
|
|---|
| Asal-usul Kelurahan Gajahan di Solo : Dulu Tempat Kandang Gajah Milik Keraton Era Pakubuwono II |
|
|---|
| Asal-usul Pasar Harjodaksino Solo: Nama Diambil dari Tokoh Lokal, tapi Lebih Dikenal Pasar Gemblegan |
|
|---|
| Kenapa Soto jadi Menu Favorit Sarapan Warga Solo Raya? Begini Sejarahnya, Bermula dari Abad ke-19 |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/solo/foto/bank/originals/traditional-art-performance_20170101_221434.jpg)