Rock in Solo
Di Balik Gemuruh Rock In Solo 2025, Kampanyekan Isu Sosial Menuju Arus Utama, Makin Lantang Bersuara
Tidak hanya menampilkan deretan band cadas lokal maupun internasional, Rock in Solo 2025 juga menjadi wadah penyampaian keresahan aspek sosial
Penulis: Tribun Network | Editor: Putradi Pamungkas
Ringkasan Berita:
- Rock in Solo 2025 di Benteng Vastenburg tetap meriah meski diguyur hujan, ribuan penonton antusias
- Festival ini jadi ruang kritik sosial: isu tambang semen Pracimantoro, krisis iklim, hingga daftar Toxic-20 PLTU berbahaya
- Aksi Trash Warrior dan slogan ekologis menegaskan RIS sebagai ajang musik sekaligus kampanye lingkungan dan politik
Laporan Wartawan Tribun Solo, Putradi Pamungkas
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Festival musik Rock in Solo 2025 telah tuntas digelar selama dua hari, di Benteng Vastenburg, Solo, sejak Sabtu dan Minggu (22-23/11/2025).
Kendati hujan deras sempat mengguyur lokasi, namun ribuan metalhead yang hadir tetap bertahan dengan penuh antusias, memperlihatkan dedikasi tinggi mereka terhadap musik metal.
Seakan tak peduli diguyur hujan sedari sore, mereka tetap tak beranjak demi menyaksikan para penampil, termasuk unit veteran black metal asal Norwegia, Mayhem, yang didapuk sebagai penutup gelaran festival tersebut.
Kehadiran Mayhem ke Rock In Solo adalah bagian dari perayaan 40 tahun eksistensi mereka di kancah musik sebagai pengusung panji black metal.
Sebelum Mayhem, unit blackened death metal asal Austria Belphegor tampil secara intens dengan menampilkan identitas mereka sebagai band blackened death metal dengan lirik-lirik yang sering mengambil tema-tema okultisme dan kejahatan.
Baca juga: Dari Oslo ke Rock In Solo, Mayhem Pimpin Ritus Pengantar Ribuan Metalhead Menuju Kegelapan
Isu Sosial Lingkungan
Tidak hanya menampilkan deretan band cadas lokal maupun internasional, Rock in Solo 2025 juga menjadi wadah penyampaian keresahan masyarakat terkait aspek sosial.
Mulai dari krisis iklim, ancaman ruang hidup akibat pembangunan pabrik semen, hingga isu keadilan pajak.
Berbagai talkshow digagas oleh organisasi masyarakat sipil independen, Trend Asia, untuk membahas persoalan tersebut.
Rock In Solo bekerja sama dengan Trend Asia untuk menjadi medium kampanye untuk mengarusutamakan isu-isu lingkungan, ekonomi, dan demokrasi.
Salah satu diskusi menyoroti rencana tambang dan pabrik semen di Pracimantoro, Wonogiri, yang ditolak warga.
Alectroguy, gitaris band punk asal Purbalingga, Sukatani, menilai proyek tersebut kontradiktif dengan kondisi industri semen yang sudah mengalami kelebihan produksi.
Ia menegaskan bahwa dampak lingkungan dari proyek itu nyata, meski analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dianggap tidak bermasalah.
“Masalahnya kenapa dibangun lagi, bahkan tinjauan amdalnya salah jadi dan dianggap tidak ada dampak lingkungannya. Padahal sebenarnya ada masalah di sana. Itu yang menjadi keresahan warga,” ujarnya.
Alectroguy mengingatkan bukan hanya masyarakat di sekitar proyek saja yang akan terdampak, tapi semua orang di masa mendatang.
Apalagi, jika persoalan yang memicu dampak lingkungan terus dikesampingkan.
“Kita semua suatu saat bisa menerima dampaknya, jadi bukan hanya warga setempat. Kita sendiri bisa menjadi korban. Misalkan korban di desa A, desa B juga ikut terdampak limbahnya atau generasi berikutnya, semua bisa jadi korban,” lanjutnya.
Alectroguy pun yakin bahwa Rock In Solo bisa menggairahkan isu-isu tersebut dan menyampakan kepada penggemar musik.
Termasuk para musisi untuk lebih peduli terhadap isu yang berkaitan dengan sosial lingkungan.
"Setidaknya teman-teman jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi dan lebih peka. Saya yakin dengan komunitas besar di skena ini akan mampu menjadi penggerak untuk hal-hal lebih baik," tegasnya.
Talkshow lain juga mengangkat keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara paling berbahaya di Indonesia.
Sebanyak 20 PLTU batu bara di Indonesia dinyatakan sebagai yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Daftar hitam ini diungkap dalam laporan berjudul Toxic Twenty: Daftar Hitam 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia yang diluncurkan oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), dan Trend Asia
Laporan tersebut juga mencatat bahwa 15 dari 20 PLTU yang paling berbahaya itu tersebar di Pulau Jawa, menunjukkan risiko kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat yang tinggi di wilayah tersebut.
Di Jawa Tengah, PLTU di Batang, Cilacap, dan Jepara telah lama menjadi subyek kekhawatiran dan protes masyarakat serta pegiat lingkungan karena dinilai berbahaya dan menimbulkan dampak negatif yang signifikan.
"Limbah cair dan padat (abu batu bara, fly ash dan bottom ash) dari PLTU berpotensi mencemari sumber air dan ekosistem laut di sekitarnya, yang dapat merusak kehidupan akuatik dan menurunkan produktivitas nelayan," kata Fajar M Andhika, Kepala Bidang Lingkungan Agraria Pesisir LBH Semarang.
Isu lain adalah seputar penolakan terhadap ekspansi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di kawasan Dieng.
Warga mengeluhkan perubahan kualitas air tanah dan kerusakan tanaman pertanian yang diduga terkait dengan operasi proyek geothermal.
Lahan pertanian yang subur terancam oleh pembangunan infrastruktur dan potensi kontaminasi.
Meskipun energi panas bumi dianggap sebagai energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil, pengembangan di Dieng menunjukkan adanya tantangan sosial dan lingkungan lokal yang signifikan.
Aksi Nyata di Lokasi Festival
Selain musik dan diskusi, Rock in Solo 2025 juga memperlihatkan aksi nyata kepedulian lingkungan.
Sejumlah relawan berompi hijau bertuliskan Trash Warrior terlihat aktif memunguti sampah di tengah kerumunan penonton.
Di berbagai tenda, terpampang slogan seperti: “Cukup kamu yang ngebul. Jangan PLTU”.
Di kesempatan terpisah, Dewan Jenderal Rock in Solo, Stephanus Adjie, menegaskan bahwa Rock in Solo sejak awal bukan sekadar hiburan, melainkan ruang penyampaian pesan politis.
Rock in Solo 2025 juga menyuarakan pentingnya kesadaran ekologis di komunitas musik keras, membuktikan bahwa musik ini juga mampu selaras dengan isu lingkungan dan politik.
Tahun ini, isu lingkungan hidup memang menjadi fokus utama.
“Rock in Solo itu memang politis sejak lahir. Dan saat ini kami menjadi lebih lantang dibanding tahun-tahun sebelumnya dengan salah satu fokus isu adalah ekologi dan lingkungan hidup,” kata Adjie.
Adjie menambahkan bahwa penyelenggara memiliki tanggung jawab untuk terus mengingatkan para pemimpin terkait etika, moral, dan aturan konstitusi.
“Kami akan berhenti bersuara ketika pemimpin-pemimpin itu bertindak sesuai cita-cita kemerdekaan, masyarakat sejahtera, lingkungan aman dan damai, serta berbagai hal baik lainnya terjadi,” pungkas Adjie.
Rock In Solo sendiri menjadi platform ekspresi musik keras sejak tahun 2004.
Secara historis, gelaran menjadi ruang perlawanan bagi komunitas musik keras Jawa Tengah yang punya tendensi kritik sosial yang kuat mengenai isu represi dan kelompok marjinal.
(*)
| Dari Oslo ke Rock In Solo, Mayhem Pimpin Ritus Pengantar Ribuan Metalhead Menuju Kegelapan |
|
|---|
| Hadirkan Ritual Kegelapan dari Austria, Belphegor Siap Guncang Rock In Solo 2025 |
|
|---|
| Rock in Solo 2025 Digeber 2 Hari, Hadirkan Veteran Black Metal Mayhem hingga Sukatani |
|
|---|
| Unit Grindcore Singapura Wormrot Jadi Headliner A Journey of Rock In Solo: XX, Catat Tanggalnya! |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/solo/foto/bank/originals/Festival-musik-Rock-in-Solo-2025-telah-tuntas-digelar-selama-dua-hari-2.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.