Stigma Solo sebagai Sarang Teroris
Sesal Eks Napiter di Solo, Imbas Stigma Teroris Melekat, Tak Bisa Dampingi Tumbuh Kembang Sang Anak
Eks napiter di Solo ini menyesali di masa anaknya paling membutuhkan ia justru tidak hadir untuk mengawal tumbuh kembangnya.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Vincentius Jyestha Candraditya
Di Rutan Cikeas Bogor 1 tahun, Polda Metro Jaya 1 tahun, hingga Lapas Magelang Kelas IIA 1 tahun.
Baca juga: Sejarah Panjang Kota Solo, Jadi Pusat Pergerakan Islam Hingga Terstigma Sarang Teroris
“Ada perasaan seperti itu (tidak adil). Saya dizalimi. Saya nggak ngelakuin apa-apa nggak ada perencanaan sama sekali tapi saya ditahan,” terangnya.
Ia yang menjadi tulang punggung keluarga harus menghabiskan hidup di balik jeruji besi tanpa pernah sekalipun dibesuk.
Bukan karena tak memiliki kesempatan. Ia tak ingin dalam kondisi ekonomi sulit justru memberatkan keluarga.
“Saya tahu kondisi keluarga saya istri sendirian. Saya nggak mau membebankan keluarga menghabiskan uang buat melihat saya. Saya mending dapat jatah video call. Satu bulan sekali. Saya lebih memilih itu uangnya buat keluarga aja,” tuturnya.
Hal yang paling ia sesali di masa anaknya paling membutuhkan ia justru tidak hadir untuk mengawal tumbuh kembangnya.
Ia membayangkan jika tidak karena mendekam di penjara, mungkin perkembangan anaknya tak selambat sekarang.
“Anak saya 8 tahun belum bisa ngomong, belum bisa berdiri, belum bisa pegang. Terapi satu bulan sekali. Tapi saya tiap hari terapi sendiri. Ada perkembangan cuma lambat. Seharusnya dulu berusia 3 tahun harusnya gencar-gencarnya terapi. 2,5 tahun tidak terapi sama sekali. Kesempatan berkembang menjadi lambat banget,” ungkapnya.
Program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN KIS) ternyata juga tidak cukup meringankan bebannya.
“Saya pakai KIS buat ke rumah sakit. Cuma ada biaya tambahan. Buat obat yang tidak ter-backup oleh KIS. Setiap bulan Rp 1,5 juta,” jelasnya.
Ia sempat berusaha berjualan kebab berbekal keahlian memasaknya dulu. Namun membangun usaha tak semudah yang dibayangkan. Apalagi harus rutin terapi anaknya dan hasil jualan yang terkuras untuk pengobatan.
Mencari pekerjaan ke orang lain lebih sulit lagi. Ia sampai dua kali dipecat. Bukan karena tak kompeten, tapi karena stigma yang terlanjur melekat.
“Sempat nyari kerja ketika udah diterima, udah kerja beberapa hari, orangnya tahu background saya langsung diberhentikan. Takutnya membawa dampak ke tempat kerja. Saya sampai 2 kali kerja ikut orang endingnya sama,” jelasnya.
Eks Napiter Temukan Banyak Kejanggalan dari Penangkapan Kasus Bom Bunuh Diri di Mapolresta Solo |
![]() |
---|
Kisah Eks Terpidana Teroris di Solo Jateng Dapat Pencerahan Saat Lihat Kebengisan Sesama Tahanan |
![]() |
---|
Ragam Sumber Diskriminasi yang Dialami Eks Napiter Hingga Terduga Teroris, Ada Lembaga Negara |
![]() |
---|
Pendampingan Hukum Disebut Tak Memadai Bagi Terduga Teroris, Stigma Buat Jauh dari Rasa Keadilan |
![]() |
---|
Pakar Minta Waspadai Penegakan Hukum Problematis soal Terduga Teroris, Bisa Timbulkan Bibit Baru |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.