Klaten Bersinar
Selamat Datang di Klaten Bersinar

Kisah Boimin dan Ngatini di Sambi Boyolali, Pasutri yang Menopang Hidup dari Meracik Emping Melinjo

Duduk bersebelahan, keduanya berbagi tugas yang seakan sudah tak perlu lagi diatur.  Boimin mengupas, Ngatini mencetak

Penulis: Tri Widodo | Editor: Rifatun Nadhiroh
TRIBUNSOLO.COM/Tri Widodo
PASUTRI - Boimin dan Ngatimin di Dukuh Kiringan, Desa Canden, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali meracik emping mlinjo untuk dijual. 

Laporan Wartawan TribunSolo.com, Tri Widodo 

TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Pagi masih terlalu muda ketika udara dingin menyusup hingga ke tulang. 

Langit di Dukuh Kiringan, Desa Canden, Kecamatan Sambi, masih gelap, hanya suara ayam jantan yang sesekali memecah keheningan. 

Tapi di sebuah rumah sederhana, kehidupan sudah lebih dulu menggeliat.

Boimin, lelaki berusia lebih dari separuh abad itu, sibuk menyalakan tungku kayu bakar. 

Baca juga: Cara Warga Lereng Merapi di Boyolali Jaga Mata Air, Gotong Royong Bersihkan Sumber hingga Ritual

Api menyala, menyulut panas pada sebuah wajan tanah liat berisi pasir halus. 

Wajahnya tersapu cahaya merah api yang menari. 

Di tangannya, segenggam biji melinjo siap dimasukkan.

Tak butuh waktu lama, biji-biji kecil itu matang. 

Panasnya masih menyengat, tapi Boimin sigap mengupas kulitnya dengan batu kecil. 

Jari-jarinya sudah terbiasa dengan rasa panas yang menyengat, seolah kulitnya lebih tebal dari kebanyakan orang.

Di sudut rumah, suara dentuman batu mulai terdengar: duk…duk…duk. 

Biji melinjo panas ditempa di atas batu datar, dipukul dengan gandik—batu silinder yang jadi sahabat setia sejak puluhan tahun silam. 

Baca juga: Tradisi Jembulan di Dusun Gabus Wetan Sragen : Digelar Turun Temurun, Wujud Syukur Atas Hasil Panen

Bantalan di bawahnya disebut batu leter. 

Dari situlah lahir emping tipis, bulat, dan siap dijemur.

Suara benturan batu itu tak pernah absen setiap pagi.

Seperti jam weker alami bagi tetangga sekitar.

Tak lama, Ngatini, istri Boimin, bergabung setelah menyiapkan sarapan. 

Duduk bersebelahan, keduanya berbagi tugas yang seakan sudah tak perlu lagi diatur.

Boimin mengupas, Ngatini mencetak. Harmoni yang tak pernah pudar meski usia kian menua.

"Bikin emping ini sudah 35 tahun, sejak anak pertama saya lahir,” tutur Ngatini, matanya menerawang, seolah mengingat perjalanan panjangnya bersama emping.

Baca juga: Mengenal Wisata Edukasi Religi Qolbu Boyolali, Destinasi untuk Praktik Manasik Umroh dan Haji

Bagi mereka, emping bukan sekadar makanan ringan. 

Ia adalah penopang kehidupan. Dengan mengandalkan batu dan tungku sederhana, Ngatini membesarkan empat anaknya hingga dewasa.

Dulu, tenaga masih kuat.

Dalam sehari, ia sanggup menghasilkan enam hingga tujuh kilogram emping mentah. 

Kini, usia memaksa langkahnya melambat.

"Kalau sekarang paling dua sampai tiga kilo. Ya nggak kuat lagi,” katanya, sambil tersenyum menerima kenyataan.

Dari dua kilogram biji melinjo, hanya jadi satu kilogram emping. Untung ruginya tergantung harga. 

Kadang emping kering dihargai Rp80 ribu per kilogram, kadang melonjak sampai Rp100 ribu lebih, terutama menjelang Lebaran.

Namun bukan sekadar rupiah yang jadi kebanggaan. 

Emping buatan tangan Boimin dan Ngatini telah merantau jauh, hingga ke Aceh. 

“Ada temen yang punya saudara di sana, ya sekalian nitip. Alhamdulillah bisa sampai sana,” ucap Ngatini dengan nada bangga.

Di usia senja, keduanya masih setia dengan rutinitas yang sama. 

Dentuman batu, asap tungku, dan aroma melinjo panas adalah bagian dari hidup mereka. 

Sebab dari rumah sederhana di Boyolali itu, emping melinjo lahir bukan sekadar camilan renyah, melainkan kisah cinta sepasang suami istri yang menua bersama dalam dentuman batu setiap pagi.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved