Raja Keraton Solo Meninggal Dunia
Perselisihan Penerus Tahta Keraton Solo, Tiap Suksesi Kerajaan Mataram Islam Tak Ada yang Baku
Pengamat Sejarah, Ki Rendra Agusta mengungkapkan setiap suksesi kerajaan mataram islam tidak ada yang baku.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Vincentius Jyestha Candraditya
Ringkasan Berita:
- Wafatnya Sinuhun Pakubuwono XIII memicu perbedaan versi penerus tahta Keraton Kasunanan Surakarta antara KGPAA Hamangkunegoro dan KGPAA Tedjowulan.
- Pengamat sejarah Ki Rendra Agusta menjelaskan, suksesi di kerajaan Mataram Islam tidak memiliki pola baku — bisa ke anak, adik, atau cucu.
- Meski sistem kerajaan bersifat monarki absolut, Rendra menilai musyawarah tetap penting agar keputusan diterima semua pihak.
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Ahmad Syarifudin
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Meninggalnya Sinuhun Pakubuwono XIII menyisakan perselisihan di antara kerabat Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo.
Pengamat Sejarah, Ki Rendra Agusta mengungkapkan setiap suksesi kerajaan mataram islam tidak ada yang baku.
Seperti telah diketahui, menjelang pemakaman Sinuhun Pakubuwono XIII muncul dua versi mengenai penerus tahta yang akan melanjutkan kepemimpinan Keraton Kasunanan Surakarta, Rabu (5/11/2025).
KGPAA Hamangkunegoro telah menyatakan ia telah berdiri sebagai Pakubuwono XIV di depan jenazah ayahnya sebelum diberangkatkan.
Sementara itu, Maha Menteri Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kangjeng Gusti Panembahan Agung Tedjowulan menyatakan belum ada penerus tahta yang disepakati.
Untuk sementara ia mengklaim akan menjalankan fungsi ad interim hingga penerus Paku Buwono XIII dinobatkan.
Meski begitu, dalam situasi paling umum memang seorang raja akan mewariskan tahta ke anak laki-lakinya yang paling tua. Hal ini terjadi di kerajaan-kerajaan mataram islam.
“Sebenarnya ada banyak cara dan yang pernah terjadi di di 4 keraton dan puro di wangsa Mataram Islam ya jadi sejak zaman dulu itu ya suksesi paling paling normal ya memang diberikan dari ayah ke anak laki lakinya paling normal seperti itu itu terjadi di banyak raja lah di Solo itu. Misalkan ya kayak di PB II ke III, III ke IV. Dari ayah ke anaknya ke situ,” ungkap Rendra, kepada TribunSolo.com, Minggu (9/11/2025).
Meski begitu, sejumlah catatan sejarah menunjukkan suksesi kepemimpinan beragam.
Baca juga: Keraton Solo Siapkan Prosesi Tujuh Harian Pakubuwono XIII, Bakal Gelar Tahlilan di Sasana Parasdya
Mulai dari ke adiknya hingga ke cucunya beberapa kali terjadi.
“Kemudian ada juga pernah terjadi itu dari kakak ke adek gitu ya. Misalkan kalau kita lihat uh Pakubuwono VI, VII, VIII itu kan itu kan sebenarnya adik adik raja ya yang menjadi raja. Kalau di Jogja yang adik kakak itu kan HB V ke HB VI itu juga adik kakak. Terus ada juga yang melompat ke cucu cucu laki laki itu pernah terjadi di masa Mangkunegoro I ke II, II ke III itu jatuhnya cucu,” terangnya.
Dalam situasi perang, suksesi kepemimpinan bisa berbeda lagi.
Seperti saat Kasultanan Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
“Paling kalau yang khusus ya melalui perang ya masih ada relatif tidak terjadi sebenarnya di dalam tradisi kesultanan itu terjadi di masa masa Kartosuronan. Jadi misalkan kaya Amangkurat 1 wafat itu kan kemudian Puger dan Amengkurat 2 nanti Pugernya jadi Pakubuwono 1. Tapi melalui perang,” jelasnya.
Lalu saat suksesi kepemimpinan ke Hamengkubuwono III yang diangkat saat masih belia.
Baca juga: Titah Raja Mutlak! GKR Timoer : Pengangkatan Permaisuri PB XIII Keraton Solo Tak Bisa Diganggu Gugat
Hal ini membuat adanya perwalian karena dianggap belum mampu membuat keputusan sendiri.
“Kasusnya Hamengkubuwono 3 itu kan diangkat saat masih kecil oleh ayahnya. Walaupun begitu karena masih kecil kan juga ada perwalian misalnya, jadi enggak bisa dia berdiri sendiri karena dianggap tidak mampu dan dan seterusnya begitu,” tuturnya.
Ia mengakui kerajaan mataram islam memang menganut sistem monarki absolut.
Artinya, titah raja merupakan undang-undang yang harus ditaati.
Baca juga: Perdebatan Klaim Tahta Keraton Solo, KGPH Hangabehi dan GKR Timoer Beda Pandangan : Belum Final
Namun, musyawarah bisa menjadi langkah strategis agar semua pihak bisa menerima keputusan raja.
“Tetap saja musyawarah antar keluarga. Memang itu hak prerogatifnya raja. Absolut memang tapi tetap saja itu di dimusyawarahkan antar anggota kerajaan itu tidak bisa berdiri sendiri. Jadi karena kan yang dipimpin kan tidak hanya keturunan raja tapi kan seluruh warga secara kultural,” jelasnya.
(*)
| Pengakuan Putra Tertua Sinuhun, Tak Hiraukan Ikrar PB XIV Solo : Fokus Antar Jenazah Ayahanda |
|
|---|
| Kenangan Ekstrem Putra Tertua PB XIII Keraton Solo, Diajak Sang Ayah Naik Gunung Merapi Saat Erupsi |
|
|---|
| Perdebatan Klaim Tahta Keraton Solo, KGPH Hangabehi dan GKR Timoer Beda Pandangan : Belum Final |
|
|---|
| Titah Raja Mutlak! GKR Timoer : Pengangkatan Permaisuri PB XIII Keraton Solo Tak Bisa Diganggu Gugat |
|
|---|
| Keraton Solo Siapkan Prosesi Tujuh Harian Pakubuwono XIII, Bakal Gelar Tahlilan di Sasana Parasdya |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/solo/foto/bank/originals/SUKSESI-KERATON-SOLO-Suasana-pemakaman-Raja-Keraton-Solo-Sinuhun-Pakubuwono-XIII.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.