Rock in Solo

Di Balik Gemuruh Rock In Solo 2025, Kampanyekan Isu Sosial Menuju Arus Utama, Makin Lantang Bersuara

Tidak hanya menampilkan deretan band cadas lokal maupun internasional, Rock in Solo 2025 juga menjadi wadah penyampaian keresahan aspek sosial

Penulis: Tribun Network | Editor: Putradi Pamungkas
TribunSolo.com
TALK SHOW - Festival musik Rock in Solo 2025 telah tuntas digelar selama dua hari, di Benteng Vastenburg, Solo, sejak Sabtu dan Minggu (22-23/11/2025). Tidak hanya menampilkan deretan band cadas lokal maupun internasional, Rock in Solo 2025 juga menjadi wadah penyampaian keresahan masyarakat terkait aspek sosial. Berbagai talkshow digagas oleh organisasi masyarakat sipil independen, Trend Asia, untuk membahas persoalan tersebut. 

Selain musik dan diskusi, Rock in Solo 2025 juga memperlihatkan aksi nyata kepedulian lingkungan.

Sejumlah relawan berompi hijau bertuliskan Trash Warrior terlihat aktif memunguti sampah di tengah kerumunan penonton. 

Di berbagai tenda, terpampang slogan seperti: “Cukup kamu yang ngebul. Jangan PLTU”.

Di kesempatan terpisah, Dewan Jenderal Rock in Solo, Stephanus Adjie, menegaskan bahwa Rock in Solo sejak awal bukan sekadar hiburan, melainkan ruang penyampaian pesan politis.

Rock in Solo 2025 juga menyuarakan pentingnya kesadaran ekologis di komunitas musik keras, membuktikan bahwa musik ini juga mampu selaras dengan isu lingkungan dan politik.

Tahun ini, isu lingkungan hidup memang menjadi fokus utama.

“Rock in Solo itu memang politis sejak lahir. Dan saat ini kami menjadi lebih lantang dibanding tahun-tahun sebelumnya dengan salah satu fokus isu adalah ekologi dan lingkungan hidup,” kata Adjie.

Adjie menambahkan bahwa penyelenggara memiliki tanggung jawab untuk terus mengingatkan para pemimpin terkait etika, moral, dan aturan konstitusi.

“Kami akan berhenti bersuara ketika pemimpin-pemimpin itu bertindak sesuai cita-cita kemerdekaan, masyarakat sejahtera, lingkungan aman dan damai, serta berbagai hal baik lainnya terjadi,” pungkas Adjie.

Rock In Solo sendiri menjadi platform ekspresi musik keras sejak tahun 2004.

Secara historis, gelaran menjadi ruang perlawanan bagi komunitas musik keras Jawa Tengah yang punya tendensi kritik sosial yang kuat mengenai isu represi dan kelompok marjinal.

(*)

Sumber: TribunSolo.com
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved