Lensa Penyelamat Macan Tutul Jawa, Pangeran Hutan yang Kian Tergusur Peradaban dan Modernisasi
Punahnya Harimau Jawa membuat belantara hutan Jawa pun otomatis dikuasai predator puncak selanjutnya, yakni Macan Tutul Jawa (Panthera Pardus Melas).
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya | Editor: Naufal Hanif Putra Aji
Mau tak mau, sebagai salah satu binatang yang aktif di malam hari (nocturnal) membuat proses pemotretan 95 persen dilakukan oleh Ignas saat matahari telah bersembunyi di ufuk barat. Hunting foto di siang hari, diakuinya bisa dihitung menggunakan jari.
Baca juga: Geger Jejak Kaki Diduga Macan Tutul di Jenar Sragen : Wujudnya Masih Misterius, Tapi Warga Ketakutan
Selepas petang, kegelapan total menyelimuti hutan. Kesunyian terkadang hadir sesaat sebelum suara bermacam-macam satwa silih berganti terdengar. Mulai dari suara burung hantu, merak, kijang muncak, hingga suara bajing terbang dan luwak yang membuat bulu kuduk berdiri.
Namun, suara serangga menjadi tantangan tersendiri bagi Ignas. Suaranya memabukkan di tengah kegelapan hingga membuatnya terpanggil ke alam mimpi. Tentu rasa kantuk hadir juga dikarenakan kelelahan yang menyerang.
Pekerjaan rumah lain hadir dengan pihaknya menghindari perburuan momen ini tatkala bulan purnama tiba. Fenomena full moon membuat satwa buruan macan tutul jawa bersembunyi dan suasana sepi. Otomatis persentase kemunculan Panthera Pardus Melas menipis. "Ketika kamu di hutan pas bulan purnama, ya kamu seperti disorot lampu. Itu nanti sulit lagi motretnya. Jadi bulan matilah buat foto," kata dia.
Trik pun digunakan agar bisa memotret Macan Tutul Jawa di kegelapan. 'Flash is forbidden'. Justru senter-lah senjata pendamping dari lensa kamera selaku senjata utama.
Demi mencegah kagetnya sang objek foto, Ignas memposisikan senter seperti sorot bulan. Di mana senter diarahkan dari atas secara perlahan turun menuju macan tutul jawa tersebut.
"Kita senterin dari atas dulu, turun pelan-pelan, terus baru foto dengan kecepatan rendah, dengan harapan dapat 1 atau 2 foto bagus. Sampai macan sudah sangat terbiasa, dia bisa tidur di depanku, jaraknya 25 meter," jelasnya.
"Tapi kelemahannya karena kecepatan fotonya rendah banget maka perlu tripod. Dan ketika macan tutul jawa ini bergerak, ya goyang gambarnya alias blur," tambah Ignas.
Misteri 'Orang Terpilih', Pertemuan Sarat Nuansa Mistis

Perjumpaan atau encounter dengan Macan Tutul Jawa tak bisa disebut kebetulan belaka. Hanya 'orang terpilih' yang memang akhirnya bertemu dengan Pangeran Hutan ini secara empat mata.
Konon, hal-hal berbau mistis dan gaib juga ikut andil serta bersinggungan. Seperti yang dialami Rendra Kurnia, kolega Ignas yang juga sama-sama 'gila' untuk mengabadikan potret Macan Tutul Jawa.
Di tahun 2018 silam, tiba-tiba Rendra bertemu dengan sesosok orang tua dalam mimpinya. Yang kemudian hari diketahuinya bahwa dia telah didatangi orang lewat mimpi. Kalimat dari simbah-simbah ini terus terngiang-ngiang di kepala Rendra.
"Kalau kamu mau nyari aku, ketemu," kata simbah-simbah ini dalam mimpi kepada Rendra.
Kisah ini diceritakannya ke Ignas yang berujung keduanya berencana memotret macan tutul bersama. Tapi karena suatu dan lain hal, rencana ini urung terjadi. Ternyata saking ngebetnya Rendra memotret Panthera Pardus Melas ini, dia nekad berangkat hunting foto tanpa ditemani siapapun.
365 hari berlalu, Rendra kembali bertemu Ignas dan menceritakan pengalamannya kala itu yang berujung mistis. Pasca berhasil memotret macan tutul jawa, masih segar dalam ingatannya Rendra memutuskan untuk merokok.
Api dari koreknya diarahkan ke rokok yang sudah berada di ujung mulut. Seketika, ada orang tua yang mendatanginya. Orang tua ini meminta api kepada Rendra. Pikirnya, hendak 'sebat' juga bapak ini.
Tapi pertanyaan yang terlontar dari bapak ini membuatnya tercengang seketika. "Sudah ketemu to?" tanya orang tua itu. Rendra masih belum sadar dan fokus memasukkan korek apinya ke kantong celana.
Bulu kuduknya serempak berdiri, teringat mimpinya beberapa waktu lalu. "Kok pertanyaannya seperti itu ya?" tanyanya dalam hati. Saat itu juga dia menoleh ke arah orang tua itu berjalan, tapi raga bahkan bayangannya sudah sirna bak ditelan bumi.
Rendra menyimpulkan orang tua ini adalah tanda bahwa dirinya 'direstui' berjumpa dengan macan tutul jawa. Sejak saat itu, Rendra menjadi lebih sensitif terhadap hal-hal terkait macan tutul jawa.
Kesaksian ini dibenarkan Ignas. Pernah dia, Rendra dan dua orang lainnya berniat memotret macan tutul jawa. Itu adalah kali pertama Ignas berhasil bertemu dengan Pangeran Hutan. Gerak-gerik Rendra kala itu masih membuat Ignas bertanya-tanya.
Saat itu, Ignas enggan merokok lantaran takut baunya tercium macan tutul jawa dan membuat harapannya bertemu pertama kali pupus. Sebaliknya, Rendra dengan pedenya merokok dan menyarankan Ignas untuk merokok saja karena masih lama Pangeran Hutan itu datang.
"Merokok saja mas, masih lama ini datangnya," kata Rendra sambil meniup sisa asap rokok dari mulutnya.
Detik berganti menit, menit berganti jam, dan di tengah malam yang gelap gulita di hutan, Ignas melihat Rendra tiba-tiba menyundut rokoknya ke tanah. Setengah berjongkok, Rendra mendekati Ignas dan berbisik. "Mas, sedelet meneh macanne teko (sebentar lagi macannya datang), dari sana," kata Rendra dengan lirih dan menunjuk suatu arah.
Benar saja, tak berapa lama macan tutul jawa itu melangkah keluar dari semak-semak menuju kubangan air untuk minum. Setelah jepretan demi jepretan, macan itu pun beranjak pergi.
Ignas pun langsung menghampiri Rendra dan bertanya mengapa bisa mengetahui kedatangan kucing besar itu berikut arahnya. Jawaban Rendra membuatnya tambah bingung.
"Lha tadi kan kedengeran suara napasnya to mas," kata Rendra, yang membuat tiga orang di sana mengeryitkan dahi. Ketiganya bersumpah tidak ada yang mendengar suara apapun selain keheningan di seluruh penjuru hutan.
Ignas juga menyebut tanpa kemurahan dan bantuan dari alam semesta mungkin dirinya tidak akan bisa mengabadikan macan tutul jawa via lensa. Terkadang ada perasaan, semacam firasat yang tak bisa ia jelaskan secara gamblang perihal bisa tidaknya berjumpa dengan predator ini.
"Setelah lama melakukannya (berusaha memotret macan tutul jawa), ada feeling sendiri akankah macan tutul ini datang atau tidak. Ini nggak bisa dijelasin. Ketika saya merasa itu datang, ya datang beneran. Sebaliknya kalau merasa nggak datang, ya nggak datang juga," tutur Ignas.
"Kadang pertemuan atau encounter dengan mereka itu juga tidak terlepas dari kemurahan alam semesta. Selain berusaha, ya tentu alam mengizinkan nggak nih," imbuhnya.
Fotografi Bisa Ikut Menyelamatkan Alam dan Satwa
Terancam punahnya Macan Tutul Jawa disikapi beragam oleh pemerhati keanekaragaman hayati. Upaya penyelamatanpun dilancarkan bertubi-tubi. Termasuk Ignas dengan lensanya.
Ya, pengabadian potret macan tutul jawa yang masih sangat minim, terutama yang menggambarkan perilaku di habitatnya, jadi cara Ignas untuk menyelamatkan sang Pangeran Hutan.
Pria yang berdomisili di Yogyakarta ini mengakui fotografi adalah passion-nya, bukan sekedar hobi. Dan dia terjun menangkap momen satwa-satwa di alam bebas karena ingin mengikuti jejak dari Riza Marlon, seorang fotografer alam liar Indonesia. Aksinya bersama Riza Marlon dirasakannya memicu lebih banyak fotografer ikut terlibat dan lebih aware terhadap satwa-satwa di Indonesia. Ignas pun kian mantap melangkah di jalan ini.
Ada momen menggelitik di benaknya saat sejumlah orang berkomentar ketidaktahuannya terkait nama-nama satwa di Indonesia. Ignas juga spontan berteriak ‘Oh My God’ saat foto Tarsius, mamalia bermata besar disebut Koala oleh salah satu orang. Pun demikian tatkala Ignas mengunggah jepretan Macan Tutul Jawa miliknya, ada yang kaget lantaran tak mengetahui Panthera Pardus Melas ini masih eksis di hutan belantara Jawa.
Menurutnya, pendokumentasian Macan Tutul Jawa bisa menjadi langkah awal untuk mengedukasi masyarakat terkait terancam punahnya hewan ini. Diharapkan, masyarakat akan turut serta membantu menjaga alam sekitar yang berimbas pada keberlangsungan hidup predator puncak di Pulau Jawa tersebut.
"Menurutku ini penting, nggak banyak orang tahu. Jadi ini bisa jadi momen reintroduksi atau mengenalkan kembali ke masyarakat supaya orang tahu macan tutul jawa ini dilindungi, ini harta nasional. Itu penyeimbang alam dan ekosistem," kata dia.
"Edukasi ini penting dan lebih bagus lagi disertai foto yang baik dari sisi fotografis dan perilakunya. Ini wajib diperkenalkan kembali, kebanggaan Jawa sebagai suatu satwa yang diprioritaskan secara nasional," tegasnya.
Upaya menyelamatkan satwa lewat lensa ini diapresiasi dan didukung oleh Hendra Gunawan yang juga merupakan peneliti macan tutul. Kegiatan memotret itu disebut merupakan bentuk manfaat ekonomi yang diberikan oleh jasa ekosistem (ecosystem services), khususnya yang ditimbulkan oleh keberadaan macan tutul. Ketika para fotografer ini berburu foto, mereka juga ikut menyumbangkan sejumlah hal. Mulai dari membayar tiket masuk kawasan hutan tertentu, hingga turut andil menyebarkan eksistensi satwa yang terancam punah ketika foto tersebut dipublish.
Namun, Hendra mengingatkan bahwa kegiatan fotografi alam liar sebagai bagian dari wildlife tourism atau ecotourism, perlu dikelola dengan baik, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif pada satwa liar. Sebisa mungkin jangan sampai kehadiran aktivitas fotografi mengganggu atau membatalkan proses kawin satwa sehingga gagal bereproduksi.
“Selain itu, minat berburu satwa untuk mendapatkan kepuasan, kebanggaan atau tujuan ekonomi, seharusnya dapat dialihkan dengan aktivitas berburu foto satwa tersebut. Ini bisa menjadi terobosan dalam upaya konservasi satwa, dengan pengaturan ketat dan pengelolaan yang baik, tentunya,” kata Hendra.
Di sisi lain, Hendra menilai pelestarian macan tutul jawa akan sangat terbantu ketika kelompok masyarakat yang secara sosial kultural memperlakukan macan tutul sebagai satwa yang memiliki kharisma, sehingga ‘dihormati’ dan dijaga, serta menghindari berkonflik dengan macan tutul.
Berdasarkan pengalamannya, ada yang menganggap Macan Tutul Jawa kedudukannya sama dengan Harimau Jawa (di alam sendiri macan tutul jawa menggantikan posisi harimau jawa yang punah), sehingga seringkali masyarakat tidak membedakan sebutannya, mereka tetap menyebutnya sebagai macan atau harimau saja.
Adapula yang menganggap macan tutul atau macan kumbang sebagai ‘titisan’ atau jelmaan leluhur yang sangat dijunjung dan dihormati. Sehingga bisa dikatakan Macan Tutul Jawa bukan hanya satwa pemangsa puncak yang menjaga keseimbangan ekosistem, tetapi juga simbol budaya yang kaya.
“Persepsi dan sikap seperti ini sangat membantu upaya konservasi. Nilai ini membuat keberadaan macan tutul tidak hanya penting secara ekologis tetapi juga sebagai bagian dari warisan budaya Jawa,” jelasnya.
Akankah lensa ini benar-benar menjadi penyelamat Macan Tutul Jawa dari kepunahan? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, harapan terbentang lebar jika menilik upaya banyaknya fotografer yang ingin mengabadikan potret sang Penjaga Hutan. Semoga predator puncak pengganti si loreng ini kembali memenuhi Tanah Jawa.
(*)
Macan Tutul Jawa
Ignas Dwiwardhana
Situbondo
National Geographic Indonesia
Yayasan KEHATI
Forum Bumi
Pria di Bantul Gondol 1 Slop Rokok Tiap Hari Selama 3 Bulan dari Toko Grosir, Terkumpul Ratusan Juta |
![]() |
---|
Viral Video Pemukulan Siswi SMA oleh Kakak Kelas di Situbondo, Polisi: Orangtua Korban Tak Terima |
![]() |
---|
Bocah 4 Tahun di Situbondo Tenggelam, Ditemukan Tewas di Sungai Desa |
![]() |
---|
Viral Truk Bermuatan Melaju Ugal-ugalan di Jalanan Situbondo: Nyaris Tabrak Mobil, Begini Nasibnya |
![]() |
---|
Geger 11 Siswa SD di Situbondo Sayat Tangan Sendiri, Ternyata Terinspirasi Konten TikTok |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.