Sejarah Kuliner Legendaris
Sejarah Kerupuk Kaleng Bisa Sampai Solo : Dibawa Perantau Jawa Barat, Pernah jadi Simbol Kemelaratan
Sejarah bagaimana awal mula kerupuk ini bisa sampai ke meja makan di Solo ternyata menyimpan kisah cukup panjang.
Penulis: Tribun Network | Editor: Hanang Yuwono
Ringkasan Berita:
- Kerupuk menjadi ikon khas di meja makan warung-warung Solo, tersaji dalam kaleng warna-warni dan dijual seharga Rp1.000 per buah.
- Makanan renyah ini berakar dari sejarah panjang singkong yang dibawa Portugis dan berkembang pesat sejak masa kolonial hingga krisis ekonomi.
- Di Solo, tiga merek kerupuk kaleng legendaris masih eksis hingga kini: Kerupuk Sala (sejak 1967), Ulam Sari, dan Elis dari Sukoharjo.
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Di Kota Solo, Jawa Tengah, banyak menjamur warung makan legendaris.
Namun ketika berkunjung ke warung makan ini, ada satu yang jadi sorotan.
Yakni keberadaan kerupuk yang tersaji dalam kaleng di meja makan.
Baca juga: 6 Rekomendasi Wisata Ramah Anak di Boyolali Jateng : Ada Taman Bunga hingga Museum Sejarah
Kaleng itu berwarna-warni, sementara isi kerupuk di dalamnya biasanya berwarna putih hingga kekuning-kuningan.
Sejarah bagaimana awal mula kerupuk ini bisa sampai ke meja makan di Solo ternyata menyimpan kisah cukup panjang.
Hal itu tak bisa lepas dari Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara penghasil singkong terbesar di dunia.
Dari umbi sederhana itu, lahirlah berbagai olahan dan salah satu yang paling melekat di lidah dan budaya Nusantara adalah kerupuk.
Gurih dan renyah, ia tak sekadar pelengkap nasi, tetapi juga cermin sejarah panjang tentang kreativitas rakyat menghadapi krisis pangan dan tekanan ekonomi sejak masa kolonial.
Baca juga: Sejarah Jadah Manten, Sajian Khas Pernikahan atau Lamaran di Solo Raya, Dulu Resep Rahasia Keraton
Jejak Awal dari Tanah Portugis ke Nusantara
Singkong, bahan utama kerupuk, bukan tanaman asli Indonesia.
Umbi ini dibawa oleh bangsa Portugis sekitar abad ke-15 dan ke-16 dari Amerika Selatan.
Masuknya singkong menjadi bagian dari “jejak kolonial hayati” yang mengubah lanskap pangan Nusantara.
Ketika sistem cultuurstelsel diterapkan pada abad ke-19 oleh pemerintah Hindia Belanda, yang mewajibkan rakyat menanam tanaman ekspor seperti teh, kopi, dan kakao, lahan untuk padi menjadi terbatas.
Masyarakat pun beralih menanam singkong untuk bertahan hidup.
Dari situ, produksi singkong meningkat pesat dan melahirkan beragam inovasi kuliner berbasis singkong, termasuk kerupuk.
Baca juga: Sejarah Dadar Gulung, Jajanan Legendaris Solo yang Ternyata Adaptasi Kuliner Romawi Tahun 1430 M
Dari Sawah ke Pabrik: Lahirnya Industri Kerupuk
Jawa Barat, terutama Ciamis, disebut sebagai daerah asal mula industri kerupuk modern.
Ciamis dan sekitarnya memang dikenal sebagai penghasil singkong dan tapioka.
Konon katanya, dari Ciamis inilah muncul sentra-sentra kerupuk yang memasok hingga Bandung dan Batavia pada masa kolonial.
Kala itu, pedagang kerupuk dikenal dengan ciri khasnya membawa kaleng besar blek, menjajakan dagangannya dari kampung ke kampung.
Namun, industri kerupuk bukan hanya cerita pasca-kolonial.
Dalam sejumlah sumber, seperti kakawin Jawa Kuno Ramayana (abad ke-9 hingga ke-10), telah ditemukan istilah “kurupuk”, yang berarti serpihan renyah dari kulit atau udang.
Ini menunjukkan bahwa konsep makanan renyah serupa kerupuk telah dikenal sejak era Kerajaan Medang.
Baca juga: Sejarah Mie Ayam : Kuliner yang Aslinya dari Tiongkok, Mulai Populer di Solo Raya pada 1980-an
Kerupuk di Masa Krisis dan Depresi Dunia
Kerupuk tidak hanya bertahan di masa kemakmuran, tetapi justru menjadi simbol ketabahan di masa paceklik.
Pada era Great Depression (1929–1939), harga bahan pangan hewani seperti daging dan susu melambung tinggi.
Kaum pribumi bertahan dengan nasi, sambal, ikan asin, dan kerupuk.
Kerupuk kala itu menjadi simbol kemelaratan dan keprihatinan.
Ironisnya, justru dari masa-masa sulit inilah industri kerupuk tumbuh.
Di Bandung dan Yogyakarta, misalnya, para perantau dari Ciamis dan Tasikmalaya membuka pabrik-pabrik kerupuk setelah kehilangan pekerjaan di sektor formal.
Data menunjukkan pabrik kerupuk di Bandung, seperti milik Saidin dan Sukarma, sudah beroperasi sejak 1930-an.
Pabrik lain, DK di Sleman, juga berdiri pada 1934 dan masih bertahan hingga kini dikelola generasi ketiga.
Baca juga: Sejarah Kori Kamandungan : Gerbang Sakral Menuju Keraton Solo yang Dibangun 9 Raja
Renyah di Tengah Gejolak Ekonomi
Krisis demi krisis justru membuat industri kerupuk semakin adaptif.
Kebijakan pemerintah tahun 1978 yang membuat harga tapioka melonjak hingga 80 persen sempat mengguncang pelaku usaha, namun mereka tetap bertahan.
Pada krisis moneter 1998 dan pandemi COVID-19 tahun 2020 pun, bisnis kerupuk terbukti tangguh, bahkan meningkat karena tingginya konsumsi rumah tangga.
Keberhasilan industri kerupuk tak lepas dari kerja keras para perantau asal Ciamis.
Di Jakarta, para pengrajin kerupuk umumnya berasal dari Kecamatan Cikoneng dan Cipaku, Ciamis.
Baca juga: Sejarah Utri Singkong, Jajanan Legendaris Solo yang Sudah Ada Sejak Abad ke-18
Mereka selama ini dikenal sebagai ahli membuat kerupuk aci.
Jika pun di Solo atau daerah Jawa Tengah-DIY ada pabrik kerupuk, besar kemungkinan pemiliknya orang Cikoneng atau Jawa Barat.
Fakta ini sejalan dengan catatan geograf Soemaatmadja (1960) yang menyebut bahwa pada 1960-an, Cikoneng telah dipenuhi rumah-rumah besar milik pengusaha batik dan kerupuk.
Melimpahnya singkong dan minyak kelapa di wilayah itu menjadikan Ciamis pusat industri kerupuk nasional.
3 Pabrik Kerupuk Kaleng Legendaris di Solo
Di Kota Solo, Jawa Tengah sendiri ada beberapa merek kerupuk kaleng yang terkenal.
Tiga di antaranya adalah kerupuk Sala, kerupuk Ulam Sari, dan kerupuk Elis.
Kerupuk-kerupuk ini biasanya diantar secara berkeliling menggunakan sepeda dan bronjong ke beberapa warung makan.
Baca juga: Sejarah Kolak Pisang, Kuliner Khas Ramadhan yang Legendaris di Solo, Ternyata Dikenalkan Wali Songo
Untuk kerupuk Sala misalnya, biasanya dikemas dalam kaleng berwarna hijau atau warna-warna mencolok lainnya.
Pabrik kerupuk di Kerten Solo, Jawa Tengah, ini sudah berdiri dari 1967.
Kemudian ada pula kerupuk Ulam Sari yang belakangan juga naik daun.
Merek kerupuk ini pernah dipromosikan oleh Wali Kota Solo saat itu, Gibran Rakabuming Raka.
Selain warung-warung makan, kerupuk Ulam Sari kini juga merambah ke toko oleh-oleh khas Solo dalam varian mentah.
Yang ketiga adalah kerupuk Elis.
Kerupuk ini diproduksi oleh PT Elis Bandung yang membangun pabriknya di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Umumnya, kerupuk-kerupuk ini ketika sudah sampai di meja makan di warung makan di Solo, dibanderol dengan harga Rp1.000 dengan ukuran cukup besar.
(*)
| Sejarah Jadah Manten, Sajian Khas Pernikahan atau Lamaran di Solo Raya, Dulu Resep Rahasia Keraton |
|
|---|
| Sejarah Dadar Gulung, Jajanan Legendaris Solo yang Ternyata Adaptasi Kuliner Romawi Tahun 1430 M |
|
|---|
| Sejarah Kimlo, Kuliner Legendaris Tionghoa-Indonesia yang jadi Inspirasi Lahirnya Timlo Khas Solo |
|
|---|
| Sejarah Mie Ayam : Kuliner yang Aslinya dari Tiongkok, Mulai Populer di Solo Raya pada 1980-an |
|
|---|
| Sejarah Limun Temulawak, Minuman Legendaris yang Pernah Populer di Solo Raya Tahun 1980-1990an |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/solo/foto/bank/originals/Produk-kerupuk-Ulam-Sari-khas-Solo.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.